gravatar

Pidato Pancasila 1 Juni 1945

Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya.

Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.

Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan d a s a r n y a Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda:"P h i l o s o f i sc h e g r o n d s l a g" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan „merdeka".

Merdeka buat saya ialah: „ p o l i t i c a l i n d e p e n d e n c e „, p o l i t i e k e o n a f h a n k e l i j k h e i d . Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing, ma’afkan perkataan ini - „zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. „Zwaarwichtig" sampai -kata orang Jawa- „njelimet".

Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.

Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.

Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!

Alangkah berbedanya i s i itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.

Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu.

Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya!

Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur! (Tepuk tangan riuh).

Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ‘33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama „Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun ‘33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu j e m b a t a n e m a s . Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa d i s e b e r a n g n y a jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.

Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam s a t u m a l a m, - in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! S e s u d a h „jembatan" itu diletakkan oleh Ibn saud, maka d i s e b e r a n g jembatan, artinya k e m u d i a n d a r i p a d a i t u, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan.

Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff*), dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?

Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka t e l a h dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian,

janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan riuh).

Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan „INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka s e k a r a n g , s e k a r a n g , s e k a r a n g ! (Tepuk tangan riuh).

Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu j e m b a t a n ! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai

Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam!

Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan:
Indonesia merdeka, s e k a r a n g ! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)

Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, s e k a r a n g p u n kita menerima urusan itu, s e k a r a n g p u n kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)

Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang s a m a, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup m e m p e r t a h a n k a n negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup m e m p e r t a h a n k a n negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
(Tepuk tangan riuh)

Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.

Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu „meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur.

Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin.

Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
(Tepuk tangan, dan tertawa)

Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: k i t a i n i b e r a n i m e r d e k a a t a u t i d a k?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika t i a p - t i a p orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk tangan riuh).

D i d a l a m Indonesia merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a k a n rakyat kita!! D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a n hatinya bangsa kita! D i d a l a m Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud m e m e r d e k a k a n rakyat Arabia satu persatu. D i d a l a m Soviet-Rusia Merdeka Stalin m e m e r d e k a - k a n hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.

Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. „Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka".

Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. D i d a l a m Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i d a l a m Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan „jembatan". Di seberang jembatan, j e m b a t a n e m a s, inilah, baru kita l e l u a s a menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.

Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.

Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak? (Jawab hadlirin: Mau!)

Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal „merdeka",maka sekarang saya bicarakan tentang hal d a s a r.

Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta d a s a r , minta p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu „Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.

Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu„Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas „national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu „Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu „Weltanschauung", yaitu yang dinamakan „Tennoo Koodoo Seishin". Diatas „Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu „Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah „Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?

Tuan-tuan sekalian, „Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam „Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk me"realiteitkan"„Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: „Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:„Ten days that shook the world", „sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi „Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas „Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895 „Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905,Weltanschauung itu „dicobakan", di „generale-repetitie-kan".

Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri „generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, „Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas „Weltanschauung" yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?

Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.

Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya „Weltanschauung" itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, „Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya „Munschener Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar„Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.

Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah „Weltanschauung" kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?

Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi „Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku „The three people"s principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas „Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas „Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau „Weltanschauung’ apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari p e r s a t u a n p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , mencari satu „Weltanschauung" yang k i t a s e m u a setuju. Saya katakan lagi s e t u j u ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita b e r -s a m a - s a m a setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesiamerdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?

Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara „semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi „semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar
k e b a n g s a a n.
K i t a m e n d i r i k a n s a t u n e g a r a k e b a n g s a a n I n d o n e s i a.

Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain:
maafkanlah saya memakai perkataan „kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar k e b a n g s a a n . Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu n a s i on a l e s t a a t, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.

S a t u N a t i o n a l e S t a a t ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa?

Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Renan syarat bangsa ialah „kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.

Ernest Renan menyebut syarat bangsa: „le desir d’etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.

Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya „Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: „Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: „Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft".
Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).

Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: „verouderd",„sudah tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah „verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.

Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang „Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan „Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, „l’ame et desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu t a n a h a i r . Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana„kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan

yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan.

Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai„golfbreker" atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.

Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.

Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!

Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup „le desir d’etre ensembles", tidak cukup definisi Otto Bauer „aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada „desir d’entre ensemble", adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.

Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa „le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan „le desir d’etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.

Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan „le desir d’etre ensemble" diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah s e l u r u h manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! S e l u r u h n y a !, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada „le desir d’etre
enemble", sudah terjadi „Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi s a t u, s a t u, sekali lagi s a t u ! (Tepuk tangan hebat).

Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan „golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya.

Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.

Nationale staat hanya Indonesia s e l u r u h n y a, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: K e b a n g s a a n I n d o n e s i a . Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain,tetapi k e b a n g s a a n I n d o n e s i a, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: „Saya tidak mau akan kebangsaan".

T U A N L I M K O E N H I A N :
Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.

T U A N S O E K A R N O :
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya „menschheid",„peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya „San Min Chu I" atau „The Three People’s Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah r a s a k e b a n g s a a n, oleh pengaruh „The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur. (Anggauta-anggauta Tionghoa bertepuk tangan).

Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip
kebangsaan ini ada b a h a y a n y a ! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham „Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!

Gandhi berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan „My nationalism is humanity".

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan„Deutschland uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, „bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.

Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan„i n t e r n a s i o n a l i m e". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud k o s m o p o l i t i s m e, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua", „satu buat semua,
semua buat satu". S a y a y a k i n s y a r a t y a n g m u t l a k u n t u k k u a t n y a n e g a r a I n d o n e s i a i a l a h p e r m u s y a w a r a t a n p e r w a k i l a n .
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.

Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, h i d u p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan

Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip k e s e j a h t e r a a n , p r i n s i p : t i d a k a k a n a d a k e m i s k i n a n d i d a l a m I n d o n e s i a M e r d e k a. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat #sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah p o l i t i e- k e democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada k e a d i l a n s o s i a l, tidak ada e k o n o m i s c h e democratie sama sekali.

Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. „Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak p o l i t i e k yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: „Wakil kaum buruh yang mempunyai hak p o l i t i e k itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".

Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?

Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni p o l i ti e k - e c o m i s c h e democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan p o l i t i e k, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan e k o n o m i kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang b e r sa m a d e n g a n m a -s y a r a k a t dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.

Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie „vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:

1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, - atau demukrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Prinsip K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama". Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r a yang bertuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang b e r k e a d a b a n . Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah h o r m a t - m e n g h o r m a t i s a t u s a m a l a i n . (Tepuk tangan sebagian hadlirin).

Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah K e t u h a n a n y a n g b e r k e b u d a y a a n, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!

Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!

Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! „Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan d a s a r. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?

(Seorang yang hadir: Pendawa lima). Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.

Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah P a n c a S i l a. Sila artinya azas atau d a s a r, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuktangan riuh).

Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu?

Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah „perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan

s o c i o - n a t i o n a l i s m e .
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke demokrasi d e n g a n sociale rechtvaardigheid, demokrasi d e n g a n kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan
s o c i o -d e m o c r a t i e.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang k i t a s e m u a harus men-dukungnya. S e m u a b u a t s e m u a ! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - s em u a b u a t s e m u a ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga
menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan „ g o t o ng - r o y o n g „.

Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara g o t o n g r o y o n g! Alangkah hebatnya! N e g a r a G o t o n g R o y o n g !
(Tepuk tangan riuh rendah).

„Gotong Royong" adalah faham yang d i n a m i s , lebih dinamis dari„kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe.

Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, b e r s a m a- s a m a ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. A m a l semua buat kepentingan semua, k e r i n g a t semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! (Tepuktangan riuh rendah).

Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.

Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya.Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t.

Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi r e a l i t e i t , jika tidak dengan p e r j o an g a n !

Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!

„D e Mensch", -- manusia! --, harus p e r j o a n g k a n itu. Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.

Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: D i - d a l a m Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak

menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad „Merdeka, -- merdeka atau mati"!
(Tepuk tangan riuh)

Saudara-sauadara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap„verschrikkelijk zwaarwichtig" itu. Terima kasih!
Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadlirin.

(Disalin dari buku LAHIRNYA PANCASILA, Penerbit Guntur, Jogjakarta, Cetakan kedua, 1949)


gravatar

Sejarah Dibalik Kemerdekaan RI

Saya akan mengulas sejarah dibalik kemerdekaan Republik Indonesia
Dari berbagai sisi baik dalam negeri maupun luar negeri

Dari Luar Negeri

Mari kita mengenang kembali sejarah yang seringkali tidak diungkapkan. Tetapi berperan sangat penting dalam perubahan status bangsa Indonesia, dari yang bangsa yang dijajah menjadi bangsa yang merdeka. Proses kemerdekaan Indonesia tidak saja ditandai dengan pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno – Hatta yang disertai upacara pengibaran bendera yang diiringi lagu Indonesia Raya. Kemerdekaan bangsa ini belum berarti apa-apa sebelum adanya pengakuan dari negara lain. Bangsa Indonesia berutang budi pada negara-negara yang telah membantu proses kemerdekaan bangsa tersebut.

Pengakuan kedaulatan Indonesia pertama kali bukanlah dilakukan oleh negara-negara Barat, apalagi Amerika Serikat yang sering mengklaim dirinya sebagai promotor kebebasan dan jaminan HAM! Perjuangan kemerdekaan Indonesia dibantu oleh negara-negara muslim di Arab secara heroik tidak lain karena faktor Islam. Adanya kedekatan emosional (ukhuwah Islamiyyah) antara bangsa Indonesia yang tengah memperjuangkan kemerdekaannya dengan bangsa-bangsa Arab.

Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari kedekatan emosional tokoh-tokoh nasional seperti, M. Natsir, Sutan Syahrir, H. Agus Salim dll dengan tokoh-tokoh pergerakkan Islam di Mesir seperti Hasan Albana dengan gerakkan Ikhwanul Muslimin yang juga turut memperjuangkan kemerdekaan bumi-bumi Islam yang lainnya. Negara-negara yang tercatat sebagai pemberi pengakuan pertama kepada RI selain Mesir adalah Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan Afghanistan. Selain negara-negara tersebut Liga Arab (Arab League) juga berperan penting dalam Pengakuan RI. Secara resmi keputusan sidang Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946 menganjurkan kepada semua negara anggota Liga Arab (Arab League) supaya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat. Alasan Liga Arab memberikan dukungan kepada Indonesia merdeka didasarkan pada ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan.

Dukungan dari Liga Arab dijawab oleh Presiden Soekarno dengan menyatakan bahwa antara negara-negara Arab dan Indonesia sudah lama terjalin hubungan yang kekal “karena di antara kita timbal balik terdapat pertalian agama”. Sementara pernyataan Sutan Syahrir atas dukungan negara-negara Arab yang diungkapkan di Harian Ikhwanul Muslimin, Mesir pada 5 Oktober 1947 … “Adalah suatu kenyataan adanya kecenderungan mengembang dalam ummat Islam di dunia ke arah persatuan dan peleburan dalam satu persudaraan Islam yang bertujuan memutuskan rantai-rantai penjajahan asing … Indonesia menyokong Pakistan sepenuhnya. Indonesia negeri Islam dan akan berjuang di barisan kaum Muslimin.”

Pengakuan Mesir dan negara-negara Arab tersebut melewati proses yang cukup panjang dan heroic. Begitu informasi proklamasi kemerdekaan RI disebarkan ke seluruh dunia, pemerintah Mesir mengirim langsung konsul Jenderalnya di Bombay yang bernama Mohammad Abdul Mun’im ke Yogyakarta (waktu itu Ibukota RI) dengan menembus blokade Belanda untuk menyampaikan dokumen resmi pengakuan Mesir kepada Negara Republik Indonesia. Ini merupakan pertama kali dalam sejarah perutusan suatu negara datang sendiri menyampaikan pengakuan negaranya kepada negara lain yang terkepung dengan mempertaruhkan jiwanya. Ini juga merupakan Utusan resmi luar negeri pertama yang mengunjungi ibukota RI
Pengakuan dari Mesir tersebut kemudian diperkuat dengan ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan Indonesia – Mesir di Kairo. Situasi menjelang penandatanganan perjanjian tersebut duta besar Belanda di Mesir ”menyerbu’ masuk ke ruang kerja Perdana Menteri Mesir Nokrasi Pasha untuk mengajukan protes sebelum ditandatanganinya perjanjian tersebut. Kedatangan Duta besar Belanda bertujuan mengingatkan Mesir tentang hubungan ekonomi Mesir dan Belanda serta janji dukungan Belanda terhadap Mesir dalam masalah Palestina di PBB. Menanggapi protes dan ancaman Belanda tersebut PM Mesir memberikan jawaban sebagai berikut: ”menyesal kami harus menolak protes Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat dan sebagai negara yang berdasarkan Islam tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir dan tidak dapat diabaikan”. Raja Farouk Mesir juga menyampaikan alasan dukungan Mesir dan Liga Arsb kepada Indonesia dengan mengatakan ”karena persaudaran Islamlah, terutama, kami membantu dan mendorong Liga Arab untuk mendukung perjuangan bangsa Indonesia dan mengakui kedaulatan negara itu”

Dengan adanya pengakuan Mesir tersebut Indonesia secara de jure adalah negara berdaulat. Masalah Indonesia menjadi masalah Internasional. Belanda sebelumnya selalu mengatakan masalah Indonesia “masalah dalam negeri Belanda”. Pengakuan Mesir dan Liga Arab mengundang keterlibatan pihak lain termasuk PBB dalam penyelesaian masalah Indonesia.
Suatu kondisi yang patut kita kritisi selang beberapa tahun dari kemerdekaan Indonesia, Israel memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 14 Mei 1948 pada pukul 18.01. Sepuluh menit kemudian, pada pukul 18.11, Amerika Serikat langsung mengakuinya. Pengakuan atas Israel juga dinyatakan segera oleh Inggris, Prancis dan Uni Soviet. Seharusnya hal yang sama bisa saja dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Soviet untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada saat itu. Tetapi hal tersebut tidak terjadi, justru negara-negara Muslim lah yang berkontribusi konkret dalam mengakui dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Buktinya pada 11 November 1945 melalui pidato dari radio Delhi, Jinnah menginstruksikan agar tentara India Muslim tidak ikut bertempur melawan pejuang Indonesia. Akibatnya, empat hari kemudian, 400 orang tentara India Muslim melakukan disersi. Di Surabaya disersi itu melibatkan Kapten Mohammad Zia Ul-Haqq yang belakangan menjadi Presiden Pakistan. Pada 8 November itu juga Masyumi menghubungi Raja Ibnu Suud dan memohon agar beliau memaklumkan kemerdekaan Indonesia kepada jama’ah haji yang sedang wuquf di Padang Arafah dan meminta agar jama’ah haji mendoakan perjuangan bangsa Indonesia.

Simpati rakyat Mesir terhadap perjuangan di Indonesia antara lain juga diperlihatkan pada rapat umum partai-partai politik dan organisasi massa pada 30 Juli 1947, di antara pembicara bahkan terdapat (Presiden) Habib Burguiba dari Tunisia dan Allal A Fassi, pemimpin Maroko. Rapat umum itu menyetujui satu resolusi. Antara lain: (1). Pemboikotan barang-barang buatan Belanda di seluruh negara-negara Arab; (2). Pemutusan hub diplomatik antara negara-negara Arab dan Belanda. (3). Penutupan pelabuhan-pelabuhan dan lapangan-lapangan terbang di wilayah Arab terhadap kapal-kapal dan pesawat-pesawat Belanda (secara konkret poin ini dilaksanakan di Terusan Suez); (3). Pembentukan tim-tim kesehatan untuk menolong korban-korban agresi Belanda (secara konkret Mesir mengirim misi Bulan Merah ke Indonesia lengkap dengan obat, alat kesehatan dan tim dokter).

Setiap aksi Belanda di tanah air kita yang mengancam kemerdekaan Indonesia disambut dengan demonstrasi-demonstrasi anti Belanda di negara-negara Timur Tengah. Mengingat perjalanan sejarah tersebut, adalah suatu keharusan bangsa dan negara Indonesia berperan aktif dalam menyelesaian krisis di Palestina, Libanon dan negara-negara Islam lainnya khususnya di Timur Tengah.

Berlanjut ke sejarah dalam negeri ...



gravatar

SEJARAH KEMERDEKAAN

Latar Belakangnya negh bro...
6 Agustus 1945
Sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima di Jepang, oleh Amerika Serikat. Bom ini memang sebetulnya langsung mematikan banyak orang . Namun , setelah itu , korban yaang selamat kekurangan air . Air yang turun dari hujan yang mengandung radioaktif yang berasal dari ledakan bom nuklir Little Boy diminum oleh para korban yang selamat . Air ini yang kemudian diminum oleh rakyat jepang , yang berwarna hitam dan menyebabkan ribuan korban meninggal karena meminum air ini dan kadar leukositnya hilang dan menyebabkan rusaknya anggota tubuh , pendarahan yang tidak berhenti , dan rambut yang rontok ketika dipegang . AS sendiri tidak memperkirakan bahwa bom atom yang dijatuhkannya bisa berdampak seperti ini .

7 Agustus 1945
BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
9 Agustus 1945
Bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki dan akhirnya menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
10 Agustus 1945
Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.
12 Agustus 1945
Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
14 Agustus 1945
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.
Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan.
Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.
15 Agustus 1945
Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Sutan Sjahrir, salah satu tokoh pemuda mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.
16 Agustus 1945
Gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka menculik Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka langsung menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol No. 1 (sekarang gedung perpustakaan Nasional-Depdiknas) yang diperkirakan aman dari Jepang. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Yamamoto dan Laksamana Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto, komandan Angkatan Darat pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda dengan sepengetahuan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.
Setelah itu mereka bermalam di kediaman Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) untuk melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Rapat dihadiri oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.
Sebelumnya para pemuda mengusulkan agar naskah proklamasi menyatakan semua aparat pemerintahan harus dikuasai oleh rakyat dari pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga sekarang.
Para pemuda juga menuntut enam pemuda turut menandatangani proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para anggota PPKI. Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud dengan membubuhkan anak kalimat ”atas nama Bangsa Indonesia” Soekarno-Hatta..17 Agustus 1945
Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua
dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.


gravatar

Wasiat Soedjinah : Aku pendukung Bung Karno sampai mati

Berikut di bawah adalah sekelumit dari riwayat hidup Soedjinah, seorang wanita Indonesia yang dalam hidupnya dari sejak muda belia sudah ikut dalam perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, yang kemudian menjadi pimpinan organisasi wanita yang terbesar di Indonesia, Gerwani. Soedjinah dipenjara selama belasan tahun oleh rezim militer Orde Baru setelah ditangkap dalam tahun 1967 karena ia aktif melakukan kegiatan-kegiatan bersama sejumlah kawan-kawannya dalam gerakan PKPS (Pendukung Komando Presiden Sukarno).

Soedjinah, yang pernah beberapa tahun mewakili gerakan wanita Indonesia dalam Gabungan Wanita Demokratik Sedunia (GWDS) dan ikut dalam berbagai konferensi internasional, telah mengalami bermacam-macam siksaan selama dalam tahanan militer, seperti halnya banyak wanita lainnya yang pernah ditahan atau dipenjarakan selama bertahun-tahun oleh rezim Suharto dkk.


Dengan menyimak sejenak riwayat hidupnya, yang berupa wawancara dengan HD Haryo Sasongko (editor buku "Terempas Gelombang Pasang" karya Soedjinah, terbitan ISAI) maka kita semua ingat kembali kepada kekejaman dan kesewenang-wenangan rezim Suharto terhadap orang-orang kiri, termasuk anggota dan simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno.

Riwayat hidup Soedjinah, yang menggambarkan bagaimana ia telah berjuang untuk bangsa, dan khususnya untuk kebangkitan dan kebebasan wanita Indonesia, perlu diketahui oleh banyak orang, terutama generasi muda dewasa ini dan di masa-masa yang akan datang.. Selain itu, penyajian secara singkat kisah hiduppnya ini juga untuk mengingat kembali betapa besar kekejaman rezim militer Suharto dkk terhadap ratusan ribu -- bahkan jutaan -- orang-orang yang tidak bersalah apa-apa.

Soedjinah, yang di harituanya – sampai wafatnya -- terpaksa tinggal di sebuah rumah jompo di Jakarta, hanyalah seorang dari begitu banyak kader-kader, aktifis, dan pimpinan Gerwani, yang telah dipersekusi di seluruh Indonesia. Sekarang ini masih banyak di antara mereka yang tetap terus mengalami berbagai penderitaan sebagai eks-tapol.

Mengingat itu semualah maka berikut ini disajikan wawancara dengan Soedjinah, yang dilakukan oleh HD Haryo Sasongko dalam bulan Desember 2000, yang selengkapnya adalah sebagai berikut.

Umar Said

* * * *

Tanggal 6 September 2007, SOEDJINAH telah meninggal dunia. Untuk mengenang wafatnya tokoh wanita yang pernah terlibat dalam perjuangan fisik di masa revolusi kemerdekaan dan perjuangan politik di masa prakemerdekaan, namun nasib dirinya sendiri tidak merdeka sampai di akhir hidupnya, berikut dikutip kembali sinopsis wawancara dengan SOEDJINAH, diangkat dari kumpulan dokumen tentang Korban Tragedi '65. Karena wawancara dilakukan pada tahun 2000, jadi tidak mencakup kisah SOEDJINAH ketika masuk ke rumah Jompo. Semoga ada manfaatnya. (HD. Haryo Sasongko)

« Menyaksikan dan merasakan hidup terjajah, Soedjinah terpanggil untuk ikut bergerilya membantu Tentara Pelajar dan laskar-laskar lainnya yang berniat mengusir penjajah. Karena tak tahan melihat darah, dia memilih sebagai kurir. Selama Perang Kemerdekaan dia tak pernah absen, baik dalam menghadapi Clash I atau Clash II. Usai penyerahan kedaulatan barulah dia kembali ke sekolah, kuliah dan kemudian aktif di Pemuda Rakyat serta Gerwani. Dari sana dia kemudian melanglang buana, menghadiri berbagai forum pertemuan internasional. Namun tragedi 1965 membawanya masuk penjara dan disekap di sana selama 16 tahun. Toh, di balik terali besi itu, dia terus melanjutkan perjuangannya. Dia pun menulis pengalaman, puisi dan cerita pendek di kertas yang dicurinya dari petugas penjara. Kini di masa tuanya, tanpa suami tanpa anak, Soedjinah memanfaatkan kemampuannya berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman dengan menjadi penerjemah dan memberikan kursus di LSM maupun di rumah kontrakannya.

Ikut Bergerilya dan Melanglang Buana

Sebagai anak pertama dari seorang Abdi Dalem Kraton Kasunanan Sala yang lahir pada tahun 1929 ini, Soedjinah mendapat kesempatan mengecap pendidikan HIS selama tujuh tahun sampai tamat yang kala itu sebenarnya hanya terbuka bagi keluarga orang-orang Belanda atau keluarga bangsawan saja. Hal itu terjadi karena Soedjinah “didekati” oleh seorang putera Mangkubumi. Karena itu pula Soedjinah sudah menguasai bahasa Belanda sejak masa kanak-kanak. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di MULO, namun kali ini tidak sampai tamat karena baru menginjak tahun pertama Jepang datang. Sehingga Soedjinah harus melanjutkan pendidikan di sekolah Jepang selama tiga tahun dan selesai di masa penjajahan Jepang.

Ketika itu Soedjinah mulai merasakan perlakuan penjajah Belanda maupun Jepang yang sama-sama merendahkan bangsanya. Mula-mula dia harus memberi hormat terhadap orang-orang Belanda dan kemudian terhadap orang-orang Jepang. Sementara orang-orang pribumi tetap menjadi warga kelas tiga pada strata yang paling bawah. Lebih-lebih Soedjinah sangat sakit hati karena ketika itu – dengan alasan untuk biaya perang – Jepang menyita harta benda milik rakyat pribumi seperti emas atau berlian sambil melakukan pemerasan serta pelecehan seksual terhadap kaum wanita.

Karena itu sejak Proklamasi Kemerdekaan Soedjinah menyambut gembira dengan ikut serta di badan-badan perjuangan. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, Soedjinah pada tahun 1946-47 (Clash I) masuk dalam Barisan Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan pertempuran yang terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga hingga Tengaran dekat Semarang. Dia bergaul akrab dengan para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP (Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di kemudian hari menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Bung Karno.

Pada Clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Soedjinah juga ikut aktif bergerilya bersama tentara dan TP sampai di Bekonang dan tempat tempat lain. Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Soedjinah ialah Soebroto yang di kemudian hari juga menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus jalan kaki menyusup di pedesaan untuk menghindari patroli Belanda.

Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Soedjinah kembali ke kota (Sala) untuk melanjutkan sekolah sampai dapat menyelesaikan SMAnya di Yogyakarta pada tahun 1952. Ketika itu Soedjinah pernah mendapatkan beasiswa untuk 5 tahun. Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gajah Mada di fakultas sosial politik yang sayangnya hanya sampai tiga tahun saja karena beasiswa sudah tidak ada lagi. Selanjutnya Soedjinah aktif di Pesindo yang di kemudian hari menjadi Pemuda Rakyat dan juga di Gerwis yang di kemudian hari menjelma menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasionalnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1951, Soedjinah sudah ikut serta di mana ketika itu juga ada SK Trimurti sebagai salah seorang ketuanya. Pada masa itu di samping Gerwis juga sudah ada organisasi wanita Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang sudah berdiri sejak 1946 dan Aisyiyah dari Masyumi. Sejak Konferensi Nasional yang pertama itu, Gerwis sudah menjadi anggota Gabungan Wanita Demokratis Sedunia.

Dalam Kongres Gerwis di Jakarta pada 1954, barulah namanya berubah menjadi Gerwani dan sekretariatnya pun pindah dari Surabaya ke Jakarta dengan Ketua Umum Umi Sardjono. Sejak itu pula Gerwani mengembangkan sayapnya dan jumlah keanggotaannya terus meningkat di seluruh Indonesia. Soedjinah semakin aktif di organisasi ini. Aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi salah satu tema perjuangan Gerwani yang banyak menarik simpati masyarakat wanita, sehingga sebelum pecahnya tragedi 1965, Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia.

Ketika pada tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha Chekoslovakia, Soedjinah mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Seusai Festival, Soedjinah mendapat tugas dari Gerwani untuk bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia yang berkedudukan di Berlin Timur selama dua setengah tahun. Di sinilah puteri Abdi Dalem Keraton Kasunanan Sala ini medapat banyak pengalaman dalam pergaulan dengan wakil-wakil gerakan wanita berbagai negara, baik dari AS, negara-negara Eropa Barat, Timur, Australia, Afrika maupun sesama negara-negara di Asia. Ketika itu wanita Asia yang mengikuti kegiatan kewanitaan di forum internasional baru dari India, China dan Indonesia. Selama aktif bekerja di Berlin Timur itu, Soedjinah mendapat kesempatan pula untuk memperdalam pengetahuan dalam bahasa Inggris dan Jerman yang dilakukannya seusai tugas kantor.

Dari Gerakan Wanita Demokratis Sedunia itu pula Soedjinah kemudian mendapat tugas “melanglang buana” dengan mengikuti kongres-kongres di Eropa seperti di Prancis, Denmark, Italia, Austria, Finlandia, Yugoslavia, Swedia dan juga Uni Soviet dan China. Tahun 1957 Soedjinah baru kembali ke Indonesia dan banyak membuat karya-karya jurnalistik berupa laporan perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai suratkabar, di samping menjadi penerjemah untuk bahasa Inggris, Belanda dan Jerman bagi tamu-tamu asing yang mengunjungi sekretariat Gerwani. Di samping karya-karya jurnalistik, untuk menambah pendapatan guna menopang biaya hidup (karena dana dari organisasi tidak mungkin mencukupi), Soedjinah juga membuat karya-karya sastra dengan menulis cerita pendek, esai atau puisi dan dimuat di berbagai media.

Tahun 1963 Soedjinah aktif sebagai penerjemah untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain Pravda (Uni Soviet) di samping dia sendiri aktif menulis pemberitaan di suratkabar dalam negeri. Karena itu Soedjinah sering juga keluar masuk Istana Merdeka dan bertemu tokoh-tokoh nasional. Ketika diselenggarakan Kongres Buruh Wanita Internasional di Rumania, Soedjinah ditunjuk oleh pimpinan Sobsi sebagai penerjemah untuk delegasi Gerwani Indonesia. Selanjutnya mendapat undangan untuk mengunjungi China.

Haappp ... Lalu Ditangkap

Aktivitasnya di DPP Gerwani di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, membuat dia harus sering tidur di kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dirinya bersama kawan-kawan lainnya ditangkap dalam suatu penggerebegan yang dilakukan oleh suatu aparat keamanan. Padahal, semua personil Gerwani sedang sibuk menyiapkan suatu acara, sehingga mereka kaget ketika di siang hari tanggal 1 Oktober 1965 mendengar warta berita tentang telah terjadinya peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal di Lubang Buaya dan juga tentang telah dibentuknya Dewan Revolusi untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal. Mereka benar-benar tak tahu menahu tentang hal itu. Konsentrasi mereka masih pada rencana penyelenggaraan Kongres Gerwani. Terdorong keingintahuannya, Soedjinah pada hari itu pergi ke kantor CC PKI dan ternyata kantor itu sudah dirusak massa. Soedjinah tak mau kembali ke kantor DPP Gerwani, tetapi juga tak pulang ke rumah tempat tinggalnya. Dia pilih berkeliling menyelinap dari tempat ke tempat untuk mencari informasi lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.

Dan informasi memang terus mengalir. Penangkapan-penangkapan telah terjadi atas diri para tokoh Gerwani. Rumah yang ditempati Soedjinah dan dalam keadaan sudah dikosongkan, juga kantor DPP Gerwani itu sendiri, ternyata sudah dijarah. Dia menginap dari satu tempat ke lain tempat secara sembunyi-sembunyi di rumah kenalan atau saudara. Tak pernah ada tempat yang diinapinya sampai tiga malam berturut-turut. Pernah juga dia tinggal di rumah mantan Kolonel Suwondo dari Divisi Brawijaya yang dikenalnya sebagai pendukung Bung Karno.

Di tengah situasi politik yang memanas, Soedjinah bersama sejumlah kawannya yang sehaluan dalam mendukung Bung Karno sempat membuat buletin bernama PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno). Ketika itu Soeharto sudah mencium adanya kegiatan tersebut dan siapa yang terbukti sebagai pendukung Soekarno ditangkap. Selama dua tahunan, Soedjinah terus “bergerilya” sambil menyebarkan buletin ini ke tengah masyarakat. Termasuk ke kedutaan-kedutaan negara asing. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 17 Februari 1967 di rumah seorang kawan (yang juga ikut ditangkap) di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan.

Soedjinah dibawa ke suatu tempat – mungkin sebuah sekolah tionghoa di daerah Pintu Besi yang dijadikan semacam posko di Gunung Sahari Jakarta Pusat - oleh petugas keamanan yang menangkapnya dan mulailah dia menyaksikan bahkan mengalami sendiri berbagai bentuk penyiksaan yang amat kejam bahkan banyak tahanan yang sampai mati dalam penyiksaan. Dia sendiri (seperti kawan-kawan lainnya yang sama-sama tertangkap, antara lain Soelami, Soeharti dan Sri Ambar) ditelanjangi dan dipukuli dengan rotan oleh delapan orang tentara berbaju loreng. Seorang di antaranya, Letkol Acep, pimpinan di posko tersebut, konon pernah dididik oleh CIA. Ketika kelihatan Soedjinah hampir mati - dan dia memang pura-pura mati - barulah seorang tentara melerai agar penyiksaan dihentikan sehingga tahanan dapat dibawa ke pengadilan. Padahal di bagian belakang halaman gedung tempat penyiksaan itu sudah digali lubang-lubang untuk mengubur mayat mereka yang mati disiksa.

Soedjinah bersama tiga kawannya yang tidak sampai mati dalam penyiksaan itu akhirnya dibawa ke tempat lain secara berpindah-pindah hingga lima kali (yang masih diingat, Kodam Jayakarta, kantor CPM Guntur), untuk kemudian ditahan di Penjara Wanita Bukitduri guna diajukan ke pengadilan karena terbukti menerbitkan PKPS. Karena dianggap sebagai orang berbahaya, maka Soedjinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi. Di Bukitduri inilah Soedjinah bertemu dengan banyak kawan-kawan sesama Gewani, baik tingkat pimpinan, aktivis hingga anggota biasa dan simpatisan.

Di tempat ini pula dia bertemu dengan anak-anak perempuan muda yang ditangkap di Lubang Buaya. Mereka berusia sekitar 14 tahunan sehingga dapat dipastikan bukanlah anggota Gerwani, karena batas minimal usia agar bisa menjadi anggota Gerwani adalah 18 tahun. Dari merekalah Soedjinah mendapat kepastian bahwa tidak ada adegan mencungkil mata apalagi memotong alat kelamin para jenderal. Mereka di sana karena ikut latihan sukarelawan Dwikora dari Pemuda Rakyat dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Merekalah yang ketika ditangkap malah diperkosa oleh aparat yang menangkapnya dan dipaksa untuk mengaku sebagai anggota Gerwani. Di antara mereka yang menghadapi pemaksaan dan penyiksaan itu – ada yang bernama Emi - adalah pelacur muda yang masih buta huruf, dan baru saja bebas dari Penjara Bukitduri sebulan sebelumnya akibat kasus kriminal.

Di sel isolasi khususnya, Soedjinah tidak dapat berkomunikasi dengan siapa pun karena tertutup rapat dan hanya ada lubang kecil untuk bernafas. Sehari hanya diberi kesempatan keluar untuk “angin-angin” selama satu jam dengan penjagaan ketat. Makanan hanya diberikan sekali sehari sekitar dua sendok nasi saja atau jagung rebus sekitar 40-60 butir. Bila ada kesempatan keluar sebentar, dia makan daun apa saja yang ada di dekatnya untuk menutup rasa laparnya Dia diisolasi penuh di tempat ini selama 8 tahun, untuk selanjutnya dipisah di sel isolasi untuk tahanan kriminal. Di sel ini Soedjinah dapat mencuri-curi kesempatan agar bisa berdialog dengan tahanan kriminal dan mendapatkan banyak informasi dari mereka tentang kenapa mereka ditahan dan bagaimana pula perlakuan aparat penguasa terhadap tahanan politik maupun tahanan kriminal selama di dalam selnya.

Sementara itu pemeriksaan atas dirinya masih berjalan terus. Di antara mereka yang melakukan pemeriksaan itu adalah bekas teman sekolah Soedjinah. Ketika kemudian diajukan ke depan pengadilan di Pengadilan Jakarta Pusat pada tahun 1975 (hanya empat orang anggota Gerwani yang ketika itu diajukan ke depan pengadilan, yakni Soedjinah, Soelami, Soeharti dan Sri Ambar karena terbukti menyebarkan buletin PKPS dan nyata-nyata menentang rezim Soeharto-Nasution), seorang hakim yang mengadilinya adalah teman kuliahnya ketika di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hakim itu – keponakan SK Trimurti – masih mengenal baik siapa Soedjinah - ketika itu menjadi terdakwa II - yang kemudian divonisnya dengan hukuman 18 tahun. Vonis ini tidak berubah ketika Soedjinah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sesama aktivis Gerwani lainnya yang juga mendekam di Penjara Bukitduri, seperti Tanti Aidit, Ny. Mudigdo dan Umi Sardjono - semua pimpinan Gerwani - yang bertemu dengan Soedjinah tidak ada yang diadili karena tidak ada bukti apa-apa yang dapat diajukan ke depan pengadilan kecuali sebagai aktivis Gerwani itu saja.

Sekitar tahun 1980, dari Penjara Wanita Bukitduri Soedjinah dipindahkan ke Penjara Tangerang. Di tempat inilah dia mendapatkan kesempatan untuk menuliskan semua yang dialaminya selama di Penjara Bukitduri, termasuk pengakuan sesama tahanan – para gadis remaja yang tertangkap di Lubang Buaya dan dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani itu – di kertas-kertas yang dicurinya. Ketika itu, karena mempunyai kemampuan melukis, Soedjinah diberi tugas membuat disain untuk kain bordir yang akan dikerjakan sesama tahanan wanita. Sebagai “disainer” tentu saja dia membutuhkan kertas dan pensil. Dan inilah memang yang sesungguhnya dia cari. Sebagian kecil dari kertas yang disediakan petugas penjara itu dia curi, disembunyikan, yang kemudian dipakai untuk menuliskan catatan-catatan tentang pengalaman sesama tahanan, juga puisi bahkan cerita pendek. Catatan yang ditulis di toilet di dalam selnya ini kemudian diselundupkan lewat seorang wartawan dari Harian Sinar Harapan (kini Suara Pembaruan) yang menyaru sebagai arsitek dan tukang bangunan sehingga bisa sering datang mendekatinya. Tulisan yang dikumpulkan oleh si wartawan itulah yang di kemudian hari diserahkan kembali kepada Soedjinah sesudah dia bebas dan diterbitkan oleh Lontar sebagai buku.

Di penjara Tangerang, Soedjinah memang sedikit mendapatkan kebebasan, tidak dikurung dalam sel lagi. Namun tetap dengan baju biru karena statusnya masih tetap “disamakan” dengan tahanan kriminal.Dia banyak memberikan bimbingan dan pelajaran bahasa Inggris kepada para tahanan kriminal sehingga mereka memanggilnya “mamie” kepada Soedjinah. Tahun 1983 dia baru dibebaskan sehingga dia total menjalani hidup di belakang terali besi selama 16 tahun dari 18 tahun yang harus dijalaninya. Di luar penjara, tidak berarti dia benar-benar bebas merdeka. Di samping masih dikenai wajib lapor diri di Kodim Jakarta Selatan sampai 1997, KTPnya juga diberi stigma “ET” sampai 14 tahun kemudian dan tanda itu baru hilang setelah Soeharto lengser.

Ketika dibebaskan, Soedjinah tinggal di rumah saudaranya – Widodo yang juga pernah mendekam di Pulau Buru – yang berada di Gandul. Menyadari dirinya tak mungkin bisa bekerja di instansi pemerintah berhubung stigmatisasi pada KTPnya itu, maka untuk menghadapi hari-hari depannya Soedjinah hanya bisa mengandalkan kegiatan memberikan les bahasa asing untuk menghidupi dirinya. Dia mengambil sertifikat untuk penerjemah bahasa Belanda di Erasmushuis selanjutnya dia mengambil sertifikat sebagai guru bahasa Inggris di LIA. Dengan modal inilah Soedjinah menapaki hari-hari kebebasannya dalam usia tua sebagai penerjemah dan guru bahasa Inggris di sejumlah LSM, antara lain Kalyana Mitra dan Solidaritas Perempuan serta Yasalira yang dikelola oleh Kartini Syahrir.

Beberapa karya terjemahan telah dihasilkan pula, antara lain dari tulisan Carmel Budiardjo dan sejumlah penulis dari Australia. Kini, Soedjinah yang pernah mendapatkan Award dari Hawaii University dan Hamlet Award karena ketekunannya untuk terus menulis meskipun berada di dalam penjara, tinggal seorang diri di sebuah rumah sewa ukuran kecil yang harus dibayarnya setiap bulan Rp 125.000,- Di rumah itu pula dia memberikan les bahasa Inggris untuk beberapa orang sambil terus menulis buku. Agar bisa lebih konsentrasi dalam menekuni pekerjaannya, dia tak mau repot-repot memasak dan mencuci pakaian sendiri. Semua diserahkan kepada tetangganya dan dia tinggal memberikan uang lelah kepada tetangganya itu.

Kini dia sedang menunggu bukunya “Terhempas Gelombang Pasang” yang berisi memori pribadinya selama dalam penahanan yang diterbitkan oleh ISAI dan “Mereka yang Tersisih” (kumpulan 18 cerpen) yang diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar. Dengan pengeluaran bulanan sekitar Rp 500.000,- Soedjinah yang beragama Islam dan kini berusia 72 tahun ini masih bisa menyisakan sedikit uang untuk membantu saudara-saudaranya di Sala yang mengalami kesulitan mengarungi sisa hidupnya karena identitas mantan tapol dan stigmatisasi pada KTPnya. Karena sikapnya yang suka menjalin keakraban dengan tetangga, sejak bebas hingga kini Soedjinah tak pernah mengalami kesulitan dalam mensosialisasikan diri di lingkungan masyarakatnya. Demikian juga bila dia sekali waktu pulang ke Sala, kota kelahirannya. Para tetangga menyambutnya dengan baik , lebih-lebih karena orangtuanya dulu dikenal sebagai seorang guru mengaji.



gravatar

Trikora: "Dua Hari Gempuran, Menang"

Suasana di Antonov Room, Klub Eksekutif Persada Halim siang itu awal September, terasa emosional. Kalau biasanya hanya dihadiri para purnawirawan TNI AU yang tergabung dalam Perhimpunan Purnawirawan AURI (PP-AURI), maka siang itu, seorang kolonel purnawirawan yang selama 34 tahun "lenyap" seperti ditelan Bumi, hadir di hadapan mereka. Kolonel (Pur) Theodorus Hendrikus Gottschalk, kelahiran Semarang 25 Maret 1918, dengan hangat menyapa dan memeluk erat setiap purnawirawan yang menghampiri maupun yang dihampirinya.

Bisa dikata, tidak satupun penerbang TNI AU angkatan Kalijati periode 1950-an yang tidak kenal Gottschalk. Dialah instruktur pertama sekolah penerbang Lanud Kalijati (sekarang Lanud Suryadarma) setelah dipindahkan dari Lanud Andir, Bandung (sekarang Lanud Hussein Sastranegara). Sementara komandan pertama Mayor Ahmadi.

Sebagai realisasi Konferensi Meja Bundar 1949, Belanda mengeluarkan maklumat yang berisi himbauan kepada seluruh personel militer Belanda di Indonesia untuk membuat pilihan: bergabung dengan TNI atau kembali ke Belanda. Sersan Penerbang Th. H. Gottschalk memilih himbauan pertama. Penerbang P-40N Kitty Hawk Skadron 120 Militaire Luchtvaart diterima AURIS 10 Mei 1959.

Gottschalk mengisahkan secara khusus masa-masa indahnya selama mengabdi di TNI AU kepada Adrianus Darmawan, Beny Adrian, dan Donna CH. Asri. Wawancara sedianya berlangsung di Klub Eksekutif Persada Halim. Karena banyaknya teman-teman lamanya yang ingin bercengkerama sampai mengganggu jalannya wawancara, kami akhirnya sepakat untuk melanjutkan obrolan santai ini esoknya di sebuah guest house, masih di Halim Perdanakusuma. Dengan bahasa Indonesianya yang sedikit "rumit", Angkasa menyajikan petikan wawancaranya berikut ini.

T : Anda disebut-sebut sebagai orang yang paling berjasa dalam merintis Sekolah Penerbang. Bisa diceritakan?

J : Suatu hari saya dipanggil Pak Surya (Komodor Suryadarma, KSAU pertama, red). Dia bilang, jalankan (tugas sebagai kepala sekolah, red) baik-baik. Padahal saya sendiri tidak punya bekal yang cukup walau semasa di KNIL pernah jadi instruktur. Kurikulum tidak ada, referensi juga tidak. Namun pegangan saya yang utama adalah murid itu sendiri, pesawat yang kedua dan ketiga baru instrukturnya. Seperti pernah disodorkan kepada saya beberapa nama untuk di wash out. Saya bilang, jangan dulu. Saya cek mereka, memang anaknya kurang berani tapi saya lihat kalau naik sepeda motor kok berani. Saya bilang, 'Kamu laki-laki atau di celana kamu ada apa?' Eh, dia marah. Hasilnya, dia jadi berani hingga akhirnya terbang.

T : Tapi sebelum di Kalijati, katanya pendidikan dilakukan di Andir, Bandung?

J : Betul, hanya dua bulan dengan siswa Mulyono, Pracoyo dan Hadi Sapandi. Mereka fighter dan merupakan angkatan pertama fighter. Setelah itu baru saya diperintahkan segera ke Kalijati untuk membentuk flying school. Angkatan pertama saya terbang dengan 20 murid diantaranya Pedet Sudarman, Sompil Basuki, Waluyo, dan Sutopo. Pagi dengan kelas bintara sore kelas perwira.

T : Sebenarnya apa modal Anda hingga berani menerima tugas berat itu?

J : Saya tidak tahu. Waktu masih di ML, baru terima brevet penerbang saya sudah jadi instruktur. Di sini juga, hingga akhirnya saya jadi Komandan Sekolah Instruktur Penerbang pertama tahun 1958. Namun yang paling penting adalah starting point murid untuk jadi penerbang itu karena apa. Itu sangat mempengaruhi keterampilannya.



T : Alasan Anda sendiri memilih bergabung dengan AURI?

J : Diawali dari pertemuan saya dengan Wiweko Supono dan Ashadi Tjahyadi di Andir Bandung. Kedua orang ini ditugasi mengurusi pesawat-pesawat B-25 Mitchell, P-51 Mustang, AT-16 Harvard, dan C-47 Dakota yang dihibahkan Belanda ke AURI. Wiweko dan Ashadi tidak tahu siapa yang harus menerbangkan. Beliau meminta sukarelawan penerbang Belanda tapi tidak ada yang mau. Hanya saya yang bersedia. Karena ini teman-teman Belanda panggil saya pembelot. Wiweko tanya, you mau masuk AURI? Saya gembira sekali, karena saya tidak suka kembali ke Belanda dan ini kesempatan bagi saya untuk tinggal di Indonesia. Kalau ke Belanda sebagai instruktur, itu berarti tugas. Kalau tinggal di Indonesia, saya ikut membangun AURI. Lebih menarik dan tantangan besar. Saya tidak suka kembali, ayah juga sudah jadi WNI. Di sini saya membangun sesuatu yang besar, sebuah angkatan udara.

T : Bisa Anda sebutkan satu-dua misi operasi di AURI?

J : Saya ikut hampir semua misi dengan Harvard, bukan Mustang karena kebetulan saya di pendidikan. Kenapa Harvard yang sebenarnya pesawat latih? Ceritanya waktu Kalijati tidak aman dari gerakan DI/TII, saya minta bantuan Mustang menyerang. Sayang Mustang telat dan mereka telah lari. Saya berpikir, kenapa tidak Harvard dipersenjatai dengan senapan mesin dan pelucur roket. Insiatif ini ternyata membawa keuntungan. Buktinya ketika Permesta meletus di Sulawesi, Harvard diperintahkan Pak Surya ke Sumatera untuk menggantikan tugas Mustang yang harus digeser ke Timur. Waktu itu penerbangnya masih berstatus kadet. Saya pimpin sendiri para siswa.

T : Apakah Anda tidak khawatir mengingat penerbang masih berstatus siswa?

J : Cerita ini menarik. Malah sebelum ke Sumatera, kami beroperasi juga di Flores dan Timor. Problem saya waktu ke Sumatera adalah murid-murid yang masih baru dengan rata-rata baru mengantongi 30 jam terbang serta belum tahu cara menembak. Sebelum ke Medan, mereka saya latih penembakan dari udara di Palembang. Hidung pesawat kami cat warna-warni. Operasi ini sempat membuat kaget pihak asing. Mereka pikir, Mustang dan B-25 dipindahkan ke Timur, kok, malah sekarang muncul pesawat-pesawat lain? Tapi saya mau katakan, sebenarnya pelajaran penembakan udara yang masuk dalam kurikulum sekolah waktu itu tidak betul. Materi itu adalah porsinya training operational, bukan sekolah penerbang. Namun ini semua karena kebutuhan yang mendesak.

Theodorus Hendrikus Gottschalk merupakan satu dari jutaan saksi mata Perang Pasifik. Saat itu dia ditempatkan di Skadron 120 Militaire Luchtvaart yang dibentuk tahun 1943 dan berpangkalan di Merauke sebelum dipindahkan ke Biak 19 Juni 1945. Gottschalk meraih Groot Militaire Brevet dan Waarnemer Brevet Kalijati Juli 1941. Karena Kalijati semakin tidak aman dari Jepang, mereka dikirim ke Australia dengan kapal laut (1942). Australia pun sama. Jadilah mereka dikirim ke Jackson Mississippi, AS hingga mendapat brevet penerbang operasional. Tahun 1943 Gottschalk dikirim ke Inggris untuk memperkuat korps udara Sekutu dalam menghadapi AU Jerman. Hanya dua bulan, Spitfire tidak sempat diterbangkannya hingga dikembalikan ke AS. Di AS Gottschalk menjadi instruktur penerbang Belanda selama enam bulan. Setelah itu dia kembali ke Australia. Akhir 1945, bersama 39 penerbang lainya Gottschalk menerbangkan ferry 40 North American P-51 Mustang dari Brisbane ke Jakarta dengan rute Brisbane-Darwin-Kupang-Jakarta. Pada 10 Mei 1950, Gottschalk resmi pindah ke AURIS dan pangkatnya dinaikkan jadi letnan udara I pada 1 Juli 1950. Gottschalk pernah menjadi Panglima Korud IV, Biak, Papua selama empat tahun (1963-1967). Tahun 1968, Gottschalk diberhentikan dengan hormat setelah menjabat Ditjen Litbangau. Tidak lama kemudian dia meninggalkan Indonesia.

T : Menarik juga menerawangi peran dan posisi Anda ketika kampanye Trikora di Irian Barat?

J : Untung Anda menanyakannya. Waktu itu saya Pamen (perwira menengah) Urusan Persiapan Staff College (cikal bakal Seskoau) yang akan didirikan di Lembang. Tiba-tiba saya dapat surat untuk menghadap Leo Wattimena, Panglima AULA (Angkatan Udara Mandala). Leo bilang, you ikut ke Irian bantu kami buat rencana operasi, khususnya penyerangan Biak. Saya akhirnya jadi staf oprasi Pak Leo.


T : Apakah ada yang meragukan "loyalitas" Anda, mengingat Anda indo-Belanda?

J : Pak Leo sendiri yang tanya soal ini. Saya bilang bahwa tidak ada keraguan pada diri saya, saya setia kepada AURI dan Indonesia.

T : Bisa Anda sampaikan pandangan Anda jika konflik berubah jadi perang terbuka?

J : Kepada perwira operasi saya sampaikan bahwa fighter Belanda hanya day fighter bukan night fighter. Kita punya bomber Tu-16 untuk bom landasan mereka. AURI punya B-25 dan P-51, tapi itu bukan tandingannya (jet Hawker Hunter). Juga muncul kekhawatiran Tu-16 bakal ditembak Hunter. Saya bilang tidak mungkin karena Belanda tidak punya airborne radar. Serangan ke Biak sebagai pusat pertahanan Belanda dapat dilaksanakan dengan airborne assault yang mendahului pendaratan armada laut dan pasukan darat. Teori ini akhirnya diakui. Saya berdebat lama dengan Leo.

T : Bagaimana dengan kapal induk Karel Doorman?

J : Kapan berangkatnya kapal itu kami tidak tahu. Buat apa takut, Tu-16 punya guidance bom dan Karel Doorman merupakan "baja besar" yang dengan gampang dihantam rudal. Mereka pasti mati!

T : Kesimpulannya?

J : Kita pasti menang, itu analisa saya. Dalam dua hari gempuran, keunggulan di udara akan diraih. Mereka hanya punya dua landasan di Biak dan Sorong yang dengan gampang bisa dihancurkan Tu-16 agar fighter-nya tidak sempat naik. Begitu juga dengan pasukan darat mereka. Coba lihat ketika PGT dan RPKAD diterjunkan di pedalaman. Itu kan propaganda. Namun Belanda terpancing dan mengejar hingga Biak kosong. Kita bisa lihat peta kekuatan dari sini. Ketika saya balik ke Belanda, saya dengar dari beberapa veteran bahwa tentara Belanda yang dikirim ke Papua ternyata bukan professional soldier tapi milisia.

T : Ada yang meragukan kesiapan AURI saat itu. Katanya untuk Tu-16, yang disiapkan penerbang Rusia?

J : Itu tidak benar. Memang ada orang Rusia, tapi kami sudah sepenuhnya operasional.

T : Mengenang masa lalu, momen apa yang paling hebat dalam hidup Anda sebagai fighter?

J : Perang Dunia II dan di Irian Barat.

T : Maksud Anda tentu Perang Pasifik. Sebagai penerbang P-40, apakah Anda tidak khawatir menghadapi Zero?

J : Tidak, malah saya berharap sekali bisa ketemu. Kami diajarkan dogfight menghadapi Zero. Zero (A6M Mitsubishi "Zero") itu manuvernya baik sekali pada kecepatan 400 mil per jam, jangan fight di bawah kecepatan itu, you akan kalah. Jadi harus fight dengan kecepatan di atas 400.


eks KNIL(Pasukan Belanda yang menjajah Indonesia) jadi republiken...