Konperensi TKR 1945
untuk mengisi kekosongan pos panglima tertinggi TKR (karena Supriyadi yang tak kunjung muncul), Markas Besar Tertinggi TKR yang diorganisir Kepala Staf Letjen Urip Sumohardjo mengundang para pimpinan TKR se-Jawa dan Sumatera. Mereka yang mendapat fax kawat undangan adalah para komandan resimen dan Divisi. Saat itu di Jawa ada 10 Divisi dan Sumatera ada 6 Divisi. Sementara resimen jumlahnya puluhan.
Pada hari H, 12 November bermunculan-lah para komandan TKR disertai pengawalnya di Jogja. Tak komplet memang. Sebagian komandan dari Jawa Timur tidak datang, karena masih sibuk menghadapi Inggris dalam peristiwa 10 November di Surabaya. Sedangkan dari 6 divisi di Sumatera, ternyata diwakili oleh satu perwira yakni Kolonel Moh Noeh. Walaupun demikian konperensi tetap dibuka pada pukul 10.00 WIB.
Urip Sumohardjo menjadi pimpinan rapat di sesi pertama. Saat memasuki agenda pemilihan panglima TKR, rapat menjadi ricuh karena masing-masing komandan tak siap membawa usulan siapa yang akan dijadikan panglima besar TKR. Dalam situasi ini, Sudirman yang saat itu komandan Divisi V melakukan interupsi. Ia mengusulkan agar rapat di-skors sementara yang lalu disetujui perwira. (Keberanian Sudirman mengusulkan skors, bisa jadi poin tersendiri bagi kemenangannya dalam bursa calon panglima TKR, mengingat terbatasnya waktu yang dimiliki para komandan untuk men-scan calon pilihannya.)
Rapat sesi kedua dipimpin oleh Letkol Holland Iskandar. Kali ini jalannya rapat lebih lancar. Di papan tulis, beberapa nama terpampang masuk bursa calon panglima TKR. Persisnya ada 8 nama; (1) M Nazir - KNIL laut? (2) Sri Sultan HB IX - KNIL KMA Breda (3) Wijoyo Suryokusumo - ? (4) GPH Purwonegoro - ? (5) Urip Sumohardjo - KNIL Meester Cornelis (6) Sudirman - PETA (7) Suryadi Suryadarma - KNIL KMA Breda (8) M Pardi - KNIL Laut?.
Setelah disaring lewat beberapa tahapan, mengkerucutlah pada 2 nama yakni Sudirman dan Urip. Setelah di-voting diperoleh hasil 22 suara mendukung Sudirman, sedangkan Urip didukung oleh 21 suara. Satu suara tambahan lagi diperoleh Sudirman dari wakil Sumatera, Kolonel Moeh Noeh yang mengaku mengantungi mandat 6 kepala divisi se-Sumatera. Jadilah Sudirman sebagai pemenang. Rapat juga memutuskan Urip tetap sebagai kepala staf dan yang tak diduga - karena bukan kewenangan tentara -, juga menunjuk Sri Sultan HB IX sebagai menteri pertahanan.
Terpilihnya Sudirman memang mengejutkan. Namun dalam buku tersebut, Sardiman juga menulis Sudirman bukanlah sosok coming from behind. Bakat kepemimpinannya sudah dikenal luas di kalangan perwira PETA, rekan satu korpsnya dulu. Dia lah perwira PETA yang mampu menjinakkan pemberontakan PETA Gumilir agar tak bernasib sama seperti pemberontakan PETA Blitar - yang berakhir dipenggalnya 6 perwira PETA. Sudirman pula yang memimpin para perwira PETA kharismatis yang tengah diisolasi Jepang di Bogor melarikan diri dari kamp, pada saat terjadinya proklamasi 1945.
Dan yang juga tak boleh diabaikan, kenyataan bahwa para komandan TKR pada saat berlangsungnya konperensi hampir semuanya alumnus PETA. Ambilah sampel komposisi panglima16 divisi, hanya 2 yang berasal dari KNIL, yakni Divisi III Kolonel AH Nasution dan Divisi IV Kolonel Jatikusumo. Itupun Jatikusumo tak sepenuhnya beraoroma KNIL, karena ia pun sempat menjalani pendidikan PETA di Bogor. Para komandan dari PETA ini sebagian besar jelas ragu untuk memilih Urip mengingat ia sekian lama mengabdi untuk Belanda. Bagi mereka, lebih aman memilih Sudirman yang sesama PETA.
Sungguh pun demikian bukan berarti segalanya berjalan mulus. Pemerintah pusat rupanya ragu dengan pilihan para tentara. Baik Soekarno maupun PM Sjahrir tak yakin, Sudirman yang baru 2 tahun menjadi tentara bisa memanggul tugas berat memimpin TKR. Karenanya, dibutuhkan waktu lebih dari 1 bulan untuk melantik Sudirman. Itupun sebelum pelantikan, Soekarno konon meminta bicara 4 mata dengan Urip Sumohardjo mengenai kapabilitas Sudirman. Baru setelah Urip - yang mungkin sudah mengatasi kekecewaannya tak jadi panglima - menggaransi, Soekarno akhirnya mau melantik Sudirman pada 18 Desember 1945.
Pada hari H, 12 November bermunculan-lah para komandan TKR disertai pengawalnya di Jogja. Tak komplet memang. Sebagian komandan dari Jawa Timur tidak datang, karena masih sibuk menghadapi Inggris dalam peristiwa 10 November di Surabaya. Sedangkan dari 6 divisi di Sumatera, ternyata diwakili oleh satu perwira yakni Kolonel Moh Noeh. Walaupun demikian konperensi tetap dibuka pada pukul 10.00 WIB.
Urip Sumohardjo menjadi pimpinan rapat di sesi pertama. Saat memasuki agenda pemilihan panglima TKR, rapat menjadi ricuh karena masing-masing komandan tak siap membawa usulan siapa yang akan dijadikan panglima besar TKR. Dalam situasi ini, Sudirman yang saat itu komandan Divisi V melakukan interupsi. Ia mengusulkan agar rapat di-skors sementara yang lalu disetujui perwira. (Keberanian Sudirman mengusulkan skors, bisa jadi poin tersendiri bagi kemenangannya dalam bursa calon panglima TKR, mengingat terbatasnya waktu yang dimiliki para komandan untuk men-scan calon pilihannya.)
Rapat sesi kedua dipimpin oleh Letkol Holland Iskandar. Kali ini jalannya rapat lebih lancar. Di papan tulis, beberapa nama terpampang masuk bursa calon panglima TKR. Persisnya ada 8 nama; (1) M Nazir - KNIL laut? (2) Sri Sultan HB IX - KNIL KMA Breda (3) Wijoyo Suryokusumo - ? (4) GPH Purwonegoro - ? (5) Urip Sumohardjo - KNIL Meester Cornelis (6) Sudirman - PETA (7) Suryadi Suryadarma - KNIL KMA Breda (8) M Pardi - KNIL Laut?.
Setelah disaring lewat beberapa tahapan, mengkerucutlah pada 2 nama yakni Sudirman dan Urip. Setelah di-voting diperoleh hasil 22 suara mendukung Sudirman, sedangkan Urip didukung oleh 21 suara. Satu suara tambahan lagi diperoleh Sudirman dari wakil Sumatera, Kolonel Moeh Noeh yang mengaku mengantungi mandat 6 kepala divisi se-Sumatera. Jadilah Sudirman sebagai pemenang. Rapat juga memutuskan Urip tetap sebagai kepala staf dan yang tak diduga - karena bukan kewenangan tentara -, juga menunjuk Sri Sultan HB IX sebagai menteri pertahanan.
Terpilihnya Sudirman memang mengejutkan. Namun dalam buku tersebut, Sardiman juga menulis Sudirman bukanlah sosok coming from behind. Bakat kepemimpinannya sudah dikenal luas di kalangan perwira PETA, rekan satu korpsnya dulu. Dia lah perwira PETA yang mampu menjinakkan pemberontakan PETA Gumilir agar tak bernasib sama seperti pemberontakan PETA Blitar - yang berakhir dipenggalnya 6 perwira PETA. Sudirman pula yang memimpin para perwira PETA kharismatis yang tengah diisolasi Jepang di Bogor melarikan diri dari kamp, pada saat terjadinya proklamasi 1945.
Dan yang juga tak boleh diabaikan, kenyataan bahwa para komandan TKR pada saat berlangsungnya konperensi hampir semuanya alumnus PETA. Ambilah sampel komposisi panglima16 divisi, hanya 2 yang berasal dari KNIL, yakni Divisi III Kolonel AH Nasution dan Divisi IV Kolonel Jatikusumo. Itupun Jatikusumo tak sepenuhnya beraoroma KNIL, karena ia pun sempat menjalani pendidikan PETA di Bogor. Para komandan dari PETA ini sebagian besar jelas ragu untuk memilih Urip mengingat ia sekian lama mengabdi untuk Belanda. Bagi mereka, lebih aman memilih Sudirman yang sesama PETA.
Sungguh pun demikian bukan berarti segalanya berjalan mulus. Pemerintah pusat rupanya ragu dengan pilihan para tentara. Baik Soekarno maupun PM Sjahrir tak yakin, Sudirman yang baru 2 tahun menjadi tentara bisa memanggul tugas berat memimpin TKR. Karenanya, dibutuhkan waktu lebih dari 1 bulan untuk melantik Sudirman. Itupun sebelum pelantikan, Soekarno konon meminta bicara 4 mata dengan Urip Sumohardjo mengenai kapabilitas Sudirman. Baru setelah Urip - yang mungkin sudah mengatasi kekecewaannya tak jadi panglima - menggaransi, Soekarno akhirnya mau melantik Sudirman pada 18 Desember 1945.