Kontroversi sejarah dan Geologi
Perdebatan kepemilikan akan sesuatu antara Malaysia dan Indonesia telah terjadi, dari perdebatan kepemilikan akan pulau di perbatasan kedua negara, reog, batik, bahkan rendang. Dalam hal ini, Malaysia selalu mengklaim bahwa itu miliknya, dan Indonesia mempertahankan apa yang menjadi miliknya.
Menggali buku-buku lama, rupanya perdebatan semacam itu telah terjadi juga pada hampir 50 tahun yang lalu; terjadi pada literatur-literatur sejarah.
Ada sebuah kontroversi di dalam sejarah yang menyangkut apa yang dimaksud oleh Caludius Ptolemaeus, ahli astronomi dan geografi Mesir awal abad Masehi (sekitar 87-150 AD), sebagai “Chryse Chersonesos” yang suka diterjemahkan di kalangan sejarah Asia Tenggara sebagai Semenanjung Emas.
Malaysia, melalui ahli sejarahnya yang terkenal Paul Wheatley menulis dalam sebuah buku berjudul The Golden Khersonese (University of Kuala Lumpur, 1961) bahwa chryse chersonesos yang dimaksud Ptolomeus itu tidak lain daripada Semenanjung Malaka.
Publikasi Wheatley segera mendapatkan serangan dari seorang ahli sejarah kelahiran Belanda yang lama berkarya di Indonesia : W.J. van der Meulen.
Rohaniwan Katolik pendiri Jurusan Sejarah IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta dan menjadi ketua jurusannya selama 20 tahun (1957-1977) ini menulis serangkaian artikel di dalam majalah Basis yang pada pokoknya menyerang argumen-argumen Wheatley. Van der Meulen mengajukan argumen-argumen baru yang mendukung pendapatnya bahwa yang dimaksud dengan chryse chersonesos tidak lain daripada Sumatera.
Apa hubungan kontroversi sejarah ini dengan geologi ? Barang tambang berupa emas dan perak yang ada di Pegunungan Barisan serta penutupan dan pembukaan Selat Malaka adalah beberapa argumen yang dikemukakan van der Meulen dalam menyerang Wheatley. Maka, keahlian geologi sebenarnya bisa terkait dalam kontroversi dan perdebatan ini. Prof. Wheatley menulis di dalam bukunya halaman 144 (diterjemahkan), “para sarjana pada umumnya, meskipun dengan ragu-ragu juga, mengidentifikasikan “Chryse Chersonesos” dengan Semenanjung Malaka. Argumen-argumen yang dikemukakan sebagai dasar pendapat ini sepenglihatan kami nampaknya sama sekali tak tertumbangkan.” Tetapi, van der Meulen menulis artikel berjudul “Semenanjung Emas”, mempertanyakan “...manakah kiranya argumen-argumen yang mahakuat ini ?
Chersonesos memang berarti semenanjung. Tetapi yang selalu menimbulkan keheranan adalah mengapa di dalam sumber-sumber India berkali-kali diketengahkan adanya Tanah Emas atau Pulau Emas (Suvarnabhumi, Suvarnadvipa), akan tetapi tidak pernah dibicarakan adanya sebuah
semenanjung. Harus diperhatikan bahwa Ptolomeus menulis buku geografi Asia Tenggara di awal abad Masehi itu tidak berdasarkan atas perjalanannya sendiri, tetapi atas dasar cerita orang yang sebagian besar berasal dari para pedagang India.
Van der Meulen menulis bahwa bentuk Chryse Chersonesos itu tidak memanjang, melainkan hampir persegi. Di dalam gambar Wheatley, paling tidak dua pertiganya terletak di laut sebelah barat Malaka. Dan, yang menarik, mengapa Selat Malaka tidak disebut-sebut ? Ada dua kemungkinan : Selat Malaka belum ada saat awal abad Masehi itu, atau Selat Malaka sudah ada hanya saat itu
bukan menjadi alur pelayaran. Di sini para ahli geologi Kuarter bisa meneliti penutupan dan pembukaan selat yang pada zaman modern ini menjadi alur utama pelayaran di Asia Tenggara.
Tahun 1911, seorang ahli sejarah bernama Wilhelm Volz menulis artikel berjudul, “Sudost Asien bei Ptolomaeus” dalam jurnal Geographische Zeitschrift volume XVII” halaman 31, “melihat bentuknya, maka Chryse Chersonesos yang digambarkan Ptolomeus ini tidak dapat dinyatakan lain kecuali menggambarkan Malaka-Sumatera menjadi satu.” Jadi menurut Volz, kapal-kapal yang datang dari India berlayar ke arah selatan melalui pantai barat Semenanjung Malaka sampai ke suatu titik tertentu dan dari tempat itu menyeberang ke pantai utara Sumatera, melanjutkan pelayarannya menyusur pantai barat Sumatera dan kemudian memasuki Kepulauan Indonesia dengan melalui Selat Sunda. Pendapat ini dengan jelas menyatakan bahwa saat itu Selat Malaka masih tertutup untuk pelayaran (mungkin masih terlalu dangkal ? – ahli geologi Kuarter bisa menelitinya lebih jauh). Van der Meulen menantang argumen Wheatley, kalau Semenanjung Malaka adalah Semenanjung Emas (Chryse Chersonesos), adakah emas ditemukan di Malaka ? Wheatley menulis, meskipun sedikit, emas ada di Semenanjung Malaka, yaitu di jalur pegunungan antara Kelantan dan Malaka. Van der Meulen menulis, bahwa Pegunungan Barisan di pantai barat Sumatera lebih banyak mengandung emas daripada Semenanjung Malaka. VOC telah sejak awal mengeksplorasi dan
mengeksploitasi emas di pegunungan ini, antara lain menghasilkan area emas terkenal Rejang-Lebong (pekerjaan emas pada zaman VOC di Sumatera dilaporkan dalam Elias Hesse, 1931 : Goldbergwerkte in Sumatera 1680-1685).
Wheatley menulis bahwa para penggambar peta dari abad ke-15 dan ke-16 pada umumnya mempersamakan Chryse Chersonesos dengan Malaka. Tetapi Wheatley juga menulis bahwa ada penggambar peta lain yang penting seperti Ortelius dan Manoel de Eredia yang berpendapat bahwa Sumatera adalah Chryse Chersonesos-nya Ptolemaeus. Kedua ahli geografi ini juga berpendapat bahwa dahulu kala seharusnya ada sederet tanah yang merupakan jembatan penghubung antara Tanjung Rachado (di sekitar Negeri Sembilan Semenanjung Malaka) dan
Pulau Rupat di Riau. Meskipun ditulisnya, Wheatley tak mempercayai analisis Ortelius dan de Eredia ini. Padahal, hanya de Eredia satu-satunya dari para penggambar peta itu yang pernah tinggal di Asia Tenggara selama bertahun-tahun.
Orang-orang Portugis juga menerapkan nama Ophir, yaitu nama tanah emas yang menyumbangkan emas dan perak kepada Raja Salomo, baik pada Gunung Talak Mau di Sumatera, maupun pada Gunung Ledang di dekat Johor di Malaka. Jadi, pada pokoknya tidak banyak kita jumpai tradisi yang secara tegas hanya menunjuk Malaka sebagai Chryse Chersonesos.
Van der Meulen sendiri tidak percaya kepada teori jembatan darat antara Pulau Rupat dan Negeri Sembilan, para ahli geologi Kuarter bisa menganalisisnya. Tetapi van der Meulen percaya, bahwa bagian selatan Selat Malaka saat itu berupa rawa-rawa yang bersimpang siur dengan alur-alur
dangkal. Bagian ini hanya bisa dilalui oleh para penduduk setempat yang tahu mana bagian yang dangkal mana yang dalam, mana gosong-gosong pasir yang selalu berubah kedudukannya; bukan oleh para pelayar dari negeri lain seperti para pedagang India.
Dalam hubungan ini, baik kiranya dikemukakan, bahwa pelaut-pelaut Arab kuno ternyata tidak mengenal sama sekali pedalaman Selat Malaka, kecuali muaranya di sebelah utara. Kenyataan ini menyebabkan banyak ahli menarik kesimpulan bahwa pelaut-pelaut itu hanya menggunakan jalan mengitari Sumatera. Para pelaut Arab baru bisa mengenal alur-alur di Selat Malaka pada abad ke-15
ketika mereka menerbitkan peta laut wilayah ini. Saat itu seluruh Selat Malaka bisa dilayari meskipun harus dengan sangat hati-hati. Satu hal yang perlu diwaspadai pada bentuk Chryse Chersonesos, Ptolemaeus sebenarnya sama sekali tidak menggambarkan garis-garis pantai, melainkan ia begitu saja menghubungkan dengan garis lurus titik yang satu di dalam katalognya dengan titik berikutnya, tanpa menghiraukan apakah titik-titik itu terletak di pantai yang sama atau yang saling berhadapan, terletak di seberang teluk, selat, atau lautan. Garis-garis ini hanya menggambarkan jalan perdagangan sejauh yang dikenalnya; jadi dapat melintang pada pantai, dapat pula lebih kurang sejajar, atau bahkan memotong suatu kawasan.
Van der Meulen juga mengemukakan argumen bahwa dari segi angin, pantai barat Sumatera lebih mudah dilayari daripada pantai barat Semenanjung Malaka.
Angin musim yang paling baik untuk berlayar dari India ke Asia Tenggara bertiup antara Oktober dan Maret (saat musim hujan di Indonesia Barat). Saat itu angin dari barat akan membawa kapal-kapal yang bertolak dari India Selatan atau Srilangka menuju Sumatera. Dengan berlayar sepanjang pantai barat Sumatera, maka para pelaut itu akan selalu mendapatkan tiupan angin
penuh. Bagi kapal-kapal yang harus singgah di Teluk Martaban, selatan Myanmar, dan di daerah sebelah utara semenanjung, pilihannya lebih sukar.
Selat Malaka memang lebih pendek, akan tetapi arah angin di situ pada umumnya melintang sehingga kemajuan berlayar sering sukar sekali. Yang paling menarik dari argumen van der Meulen adalah kenyataan bahwa tidak terdapatnya sama sekali penemuan-penemuan arkeologi yang lebih tua daripada abad ke-8 di sebelah selatan Tanah Genting Kra – suatu daratan sempit di antara dua laut di sebelah utara Semenanjung Malaka. Henig (1930 : Molukken Reise) menulis (diterjemahkan) : “Tidak dapat disangsikan bahwa tempat-tempat penemuan arkeologi seperti Oceo dan P’ong Tuk di Kamboja menghasilkan artefak-artefak yang berasal dari dunia Romawi. Sedangkan, semenanjung Malaka sangat menyolok karena tak satu pun artefak Romawi ditemukan di situ. Pada umumnya, kita dapat menghubungkan Delta Mekong, Kamboja dengan tempat-tempat penemuan budaya Romawi di Arikamedu (pantai timur India), tetapi tidak ada hubungan itu dengan Chaya, Takuapa atau Kedah di Malaya, maka tak ada bukti perdagangan dari Arikamedu dengan Semenanjung
Malaya.” Ke manakah artefak Arikamedu itu menyambung kalau bukan ke Malaka ? Rupanya
ke pantai barat Sumatera. Alistair Lamb (1961 : Miscellaneous papers on Early Hindu and Buddhist Settlement in Northern Malaya and Southern Thailand, Federation Museum Journal VI) menulis bahwa di Sumatera Selatan dan daerah Bukit Barisan ditemukan manik-manik Romawi ribuan jumlahnya.
Manik-manik ini ditemukan di kuburan-kuburan otentik zaman Perunggu. Yang juga merupakan sebuah bukti lagi tentang jalan dagang zaman kuno itu ialah adanya bejana-bejana Dinasti Han (200 BC-200 AD) yang ditemukan di daerah ini (van der Hoop, 1938 : De Prehistorie, dalam F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie).
Saya tutup tulisan ini dengan membandingkan secara geologi “siapa” yang kiranya lebih berhak menyandang gelar Semenanjung Emas itu, Malaysia atau Sumatera ? Dalam hal ini baik mengemukakan peta jalur orogen dan mineralisasi dari J. Westerveld (1952 : Phases of mountain building and mineral provinces in the East Indies). Westerveld (1952) menunjukkan bahwa
Malaya hanya dilalui Jalur Orogen Malaya (Late Jurassic) yang membawa mineralisasi kasiterit, emas, dan bauksit. Sedangkan Sumatera, dilalui oleh dua jalur orogen : (1) Orogen Sumatera (Kapur) yang membawa mineralisasi besi, emas-perak-logam dasar, dan (2) Orogen Sunda (Miosen Tengah) yang membawa mineralisasi emas-perak epitermal. Perhatikan, bahwa Sumatera lebih
kaya akan emas dibandingkan Malaya sebab lebih banyak jalur mineralisasinya; maka berdasarkan hal ini bahwa “Chryse Chersonesos” adalah Sumatera seperti ditulis van der Meulen, bukan Malaya/Malaysia/Semenanjung Malaka seperti ditulis Paul Wheatley. Pulau Emas adalah Sumatera, sedangkan Malaysia adalah semenanjung timah.
“Bendera Chryse Chersonesos” tidak seharusnya dikibarkan di atas atap Semenanjung Malaka seperti keinginan Prof. Wheatley; ia, berdasarkan banyak argumen, mesti dikibarkan di atas Pulau Sumatera. Geologi akan memperkuat analisis ahli sejarah kelahiran Belanda yang betah tinggal diYogyakarta itu
- van der Meulen.
Menggali buku-buku lama, rupanya perdebatan semacam itu telah terjadi juga pada hampir 50 tahun yang lalu; terjadi pada literatur-literatur sejarah.
Ada sebuah kontroversi di dalam sejarah yang menyangkut apa yang dimaksud oleh Caludius Ptolemaeus, ahli astronomi dan geografi Mesir awal abad Masehi (sekitar 87-150 AD), sebagai “Chryse Chersonesos” yang suka diterjemahkan di kalangan sejarah Asia Tenggara sebagai Semenanjung Emas.
Malaysia, melalui ahli sejarahnya yang terkenal Paul Wheatley menulis dalam sebuah buku berjudul The Golden Khersonese (University of Kuala Lumpur, 1961) bahwa chryse chersonesos yang dimaksud Ptolomeus itu tidak lain daripada Semenanjung Malaka.
Publikasi Wheatley segera mendapatkan serangan dari seorang ahli sejarah kelahiran Belanda yang lama berkarya di Indonesia : W.J. van der Meulen.
Rohaniwan Katolik pendiri Jurusan Sejarah IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta dan menjadi ketua jurusannya selama 20 tahun (1957-1977) ini menulis serangkaian artikel di dalam majalah Basis yang pada pokoknya menyerang argumen-argumen Wheatley. Van der Meulen mengajukan argumen-argumen baru yang mendukung pendapatnya bahwa yang dimaksud dengan chryse chersonesos tidak lain daripada Sumatera.
Apa hubungan kontroversi sejarah ini dengan geologi ? Barang tambang berupa emas dan perak yang ada di Pegunungan Barisan serta penutupan dan pembukaan Selat Malaka adalah beberapa argumen yang dikemukakan van der Meulen dalam menyerang Wheatley. Maka, keahlian geologi sebenarnya bisa terkait dalam kontroversi dan perdebatan ini. Prof. Wheatley menulis di dalam bukunya halaman 144 (diterjemahkan), “para sarjana pada umumnya, meskipun dengan ragu-ragu juga, mengidentifikasikan “Chryse Chersonesos” dengan Semenanjung Malaka. Argumen-argumen yang dikemukakan sebagai dasar pendapat ini sepenglihatan kami nampaknya sama sekali tak tertumbangkan.” Tetapi, van der Meulen menulis artikel berjudul “Semenanjung Emas”, mempertanyakan “...manakah kiranya argumen-argumen yang mahakuat ini ?
Chersonesos memang berarti semenanjung. Tetapi yang selalu menimbulkan keheranan adalah mengapa di dalam sumber-sumber India berkali-kali diketengahkan adanya Tanah Emas atau Pulau Emas (Suvarnabhumi, Suvarnadvipa), akan tetapi tidak pernah dibicarakan adanya sebuah
semenanjung. Harus diperhatikan bahwa Ptolomeus menulis buku geografi Asia Tenggara di awal abad Masehi itu tidak berdasarkan atas perjalanannya sendiri, tetapi atas dasar cerita orang yang sebagian besar berasal dari para pedagang India.
Van der Meulen menulis bahwa bentuk Chryse Chersonesos itu tidak memanjang, melainkan hampir persegi. Di dalam gambar Wheatley, paling tidak dua pertiganya terletak di laut sebelah barat Malaka. Dan, yang menarik, mengapa Selat Malaka tidak disebut-sebut ? Ada dua kemungkinan : Selat Malaka belum ada saat awal abad Masehi itu, atau Selat Malaka sudah ada hanya saat itu
bukan menjadi alur pelayaran. Di sini para ahli geologi Kuarter bisa meneliti penutupan dan pembukaan selat yang pada zaman modern ini menjadi alur utama pelayaran di Asia Tenggara.
Tahun 1911, seorang ahli sejarah bernama Wilhelm Volz menulis artikel berjudul, “Sudost Asien bei Ptolomaeus” dalam jurnal Geographische Zeitschrift volume XVII” halaman 31, “melihat bentuknya, maka Chryse Chersonesos yang digambarkan Ptolomeus ini tidak dapat dinyatakan lain kecuali menggambarkan Malaka-Sumatera menjadi satu.” Jadi menurut Volz, kapal-kapal yang datang dari India berlayar ke arah selatan melalui pantai barat Semenanjung Malaka sampai ke suatu titik tertentu dan dari tempat itu menyeberang ke pantai utara Sumatera, melanjutkan pelayarannya menyusur pantai barat Sumatera dan kemudian memasuki Kepulauan Indonesia dengan melalui Selat Sunda. Pendapat ini dengan jelas menyatakan bahwa saat itu Selat Malaka masih tertutup untuk pelayaran (mungkin masih terlalu dangkal ? – ahli geologi Kuarter bisa menelitinya lebih jauh). Van der Meulen menantang argumen Wheatley, kalau Semenanjung Malaka adalah Semenanjung Emas (Chryse Chersonesos), adakah emas ditemukan di Malaka ? Wheatley menulis, meskipun sedikit, emas ada di Semenanjung Malaka, yaitu di jalur pegunungan antara Kelantan dan Malaka. Van der Meulen menulis, bahwa Pegunungan Barisan di pantai barat Sumatera lebih banyak mengandung emas daripada Semenanjung Malaka. VOC telah sejak awal mengeksplorasi dan
mengeksploitasi emas di pegunungan ini, antara lain menghasilkan area emas terkenal Rejang-Lebong (pekerjaan emas pada zaman VOC di Sumatera dilaporkan dalam Elias Hesse, 1931 : Goldbergwerkte in Sumatera 1680-1685).
Wheatley menulis bahwa para penggambar peta dari abad ke-15 dan ke-16 pada umumnya mempersamakan Chryse Chersonesos dengan Malaka. Tetapi Wheatley juga menulis bahwa ada penggambar peta lain yang penting seperti Ortelius dan Manoel de Eredia yang berpendapat bahwa Sumatera adalah Chryse Chersonesos-nya Ptolemaeus. Kedua ahli geografi ini juga berpendapat bahwa dahulu kala seharusnya ada sederet tanah yang merupakan jembatan penghubung antara Tanjung Rachado (di sekitar Negeri Sembilan Semenanjung Malaka) dan
Pulau Rupat di Riau. Meskipun ditulisnya, Wheatley tak mempercayai analisis Ortelius dan de Eredia ini. Padahal, hanya de Eredia satu-satunya dari para penggambar peta itu yang pernah tinggal di Asia Tenggara selama bertahun-tahun.
Orang-orang Portugis juga menerapkan nama Ophir, yaitu nama tanah emas yang menyumbangkan emas dan perak kepada Raja Salomo, baik pada Gunung Talak Mau di Sumatera, maupun pada Gunung Ledang di dekat Johor di Malaka. Jadi, pada pokoknya tidak banyak kita jumpai tradisi yang secara tegas hanya menunjuk Malaka sebagai Chryse Chersonesos.
Van der Meulen sendiri tidak percaya kepada teori jembatan darat antara Pulau Rupat dan Negeri Sembilan, para ahli geologi Kuarter bisa menganalisisnya. Tetapi van der Meulen percaya, bahwa bagian selatan Selat Malaka saat itu berupa rawa-rawa yang bersimpang siur dengan alur-alur
dangkal. Bagian ini hanya bisa dilalui oleh para penduduk setempat yang tahu mana bagian yang dangkal mana yang dalam, mana gosong-gosong pasir yang selalu berubah kedudukannya; bukan oleh para pelayar dari negeri lain seperti para pedagang India.
Dalam hubungan ini, baik kiranya dikemukakan, bahwa pelaut-pelaut Arab kuno ternyata tidak mengenal sama sekali pedalaman Selat Malaka, kecuali muaranya di sebelah utara. Kenyataan ini menyebabkan banyak ahli menarik kesimpulan bahwa pelaut-pelaut itu hanya menggunakan jalan mengitari Sumatera. Para pelaut Arab baru bisa mengenal alur-alur di Selat Malaka pada abad ke-15
ketika mereka menerbitkan peta laut wilayah ini. Saat itu seluruh Selat Malaka bisa dilayari meskipun harus dengan sangat hati-hati. Satu hal yang perlu diwaspadai pada bentuk Chryse Chersonesos, Ptolemaeus sebenarnya sama sekali tidak menggambarkan garis-garis pantai, melainkan ia begitu saja menghubungkan dengan garis lurus titik yang satu di dalam katalognya dengan titik berikutnya, tanpa menghiraukan apakah titik-titik itu terletak di pantai yang sama atau yang saling berhadapan, terletak di seberang teluk, selat, atau lautan. Garis-garis ini hanya menggambarkan jalan perdagangan sejauh yang dikenalnya; jadi dapat melintang pada pantai, dapat pula lebih kurang sejajar, atau bahkan memotong suatu kawasan.
Van der Meulen juga mengemukakan argumen bahwa dari segi angin, pantai barat Sumatera lebih mudah dilayari daripada pantai barat Semenanjung Malaka.
Angin musim yang paling baik untuk berlayar dari India ke Asia Tenggara bertiup antara Oktober dan Maret (saat musim hujan di Indonesia Barat). Saat itu angin dari barat akan membawa kapal-kapal yang bertolak dari India Selatan atau Srilangka menuju Sumatera. Dengan berlayar sepanjang pantai barat Sumatera, maka para pelaut itu akan selalu mendapatkan tiupan angin
penuh. Bagi kapal-kapal yang harus singgah di Teluk Martaban, selatan Myanmar, dan di daerah sebelah utara semenanjung, pilihannya lebih sukar.
Selat Malaka memang lebih pendek, akan tetapi arah angin di situ pada umumnya melintang sehingga kemajuan berlayar sering sukar sekali. Yang paling menarik dari argumen van der Meulen adalah kenyataan bahwa tidak terdapatnya sama sekali penemuan-penemuan arkeologi yang lebih tua daripada abad ke-8 di sebelah selatan Tanah Genting Kra – suatu daratan sempit di antara dua laut di sebelah utara Semenanjung Malaka. Henig (1930 : Molukken Reise) menulis (diterjemahkan) : “Tidak dapat disangsikan bahwa tempat-tempat penemuan arkeologi seperti Oceo dan P’ong Tuk di Kamboja menghasilkan artefak-artefak yang berasal dari dunia Romawi. Sedangkan, semenanjung Malaka sangat menyolok karena tak satu pun artefak Romawi ditemukan di situ. Pada umumnya, kita dapat menghubungkan Delta Mekong, Kamboja dengan tempat-tempat penemuan budaya Romawi di Arikamedu (pantai timur India), tetapi tidak ada hubungan itu dengan Chaya, Takuapa atau Kedah di Malaya, maka tak ada bukti perdagangan dari Arikamedu dengan Semenanjung
Malaya.” Ke manakah artefak Arikamedu itu menyambung kalau bukan ke Malaka ? Rupanya
ke pantai barat Sumatera. Alistair Lamb (1961 : Miscellaneous papers on Early Hindu and Buddhist Settlement in Northern Malaya and Southern Thailand, Federation Museum Journal VI) menulis bahwa di Sumatera Selatan dan daerah Bukit Barisan ditemukan manik-manik Romawi ribuan jumlahnya.
Manik-manik ini ditemukan di kuburan-kuburan otentik zaman Perunggu. Yang juga merupakan sebuah bukti lagi tentang jalan dagang zaman kuno itu ialah adanya bejana-bejana Dinasti Han (200 BC-200 AD) yang ditemukan di daerah ini (van der Hoop, 1938 : De Prehistorie, dalam F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie).
Saya tutup tulisan ini dengan membandingkan secara geologi “siapa” yang kiranya lebih berhak menyandang gelar Semenanjung Emas itu, Malaysia atau Sumatera ? Dalam hal ini baik mengemukakan peta jalur orogen dan mineralisasi dari J. Westerveld (1952 : Phases of mountain building and mineral provinces in the East Indies). Westerveld (1952) menunjukkan bahwa
Malaya hanya dilalui Jalur Orogen Malaya (Late Jurassic) yang membawa mineralisasi kasiterit, emas, dan bauksit. Sedangkan Sumatera, dilalui oleh dua jalur orogen : (1) Orogen Sumatera (Kapur) yang membawa mineralisasi besi, emas-perak-logam dasar, dan (2) Orogen Sunda (Miosen Tengah) yang membawa mineralisasi emas-perak epitermal. Perhatikan, bahwa Sumatera lebih
kaya akan emas dibandingkan Malaya sebab lebih banyak jalur mineralisasinya; maka berdasarkan hal ini bahwa “Chryse Chersonesos” adalah Sumatera seperti ditulis van der Meulen, bukan Malaya/Malaysia/Semenanjung Malaka seperti ditulis Paul Wheatley. Pulau Emas adalah Sumatera, sedangkan Malaysia adalah semenanjung timah.
“Bendera Chryse Chersonesos” tidak seharusnya dikibarkan di atas atap Semenanjung Malaka seperti keinginan Prof. Wheatley; ia, berdasarkan banyak argumen, mesti dikibarkan di atas Pulau Sumatera. Geologi akan memperkuat analisis ahli sejarah kelahiran Belanda yang betah tinggal diYogyakarta itu
- van der Meulen.