Masa Awal Skadron Angkut Pertama
Salah satu skadron yang terbentuk saat itu adalah Skadron 2, berfungsi sebagai satuan angkut udara (air transport). Skadron ini tetap eksis sampai sekarang dan menjadi batu pijakan dalam pembentukan para penerbang skadron-skadron angkut lain di lingkungan TNI AU pada masa berikutnya. Skadron angkut berlambang “kuda terbang” ini telah memainkan perannya seiring dengan perjalanan sejarah bangsa dan kiprah TNI AU di dalamnya.
Terlahir sebagai skadron angkut pertama, memiliki pesawat cukup banyak dan modern pada masanya. Namun dengan terbatasnya penerbang untuk mengawaki, membuat skadron ini harus berjuang ekstra keras agar selalu siap menjalankan tugas, kapanpun dan dimanapun. Mulai dari mengangkut bahan makanan, obat-obatan, tumbuh-tumbuhan, hingga pasukan dengan segala perangkat kebutuhan pendukung dalam pertempuran. Pokoknya selama masih bisa masuk dalam tubuh pesawat dan tidak membahayakan keselamatan penerbang, pasti akan diterbangkan sampai ketujuan. Sampai sekarang, walaupun telah lahir skadron-skadron angkut lainnya, skadron 2 tetap menjadi monumen hidup dari bukti semangat juang, dedikasi, loyalitas, dan profesionalisme dari seluruh personilnya.
Kelahiran Si Kuda Terbang.
Bila dilihat kebelakang, skadron angkut dalam lingkungan TNI AU sebenarnya dirintis dari PAU (Pangkalan Angkatan Udara) Andir (sekarang Lanud Husein Sastranegara), Bandung. Menyusul penyerahan kedaulatan RI dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, maka AURIS (Angkatan Udara Republik Indonesia Serikat) mendapatkan warisan pesawat terbang dalam jumlah besar dari ML (Militaire Luchtvaart), termasuk di dalamnya adalah pesawat angkut legendaries Douglas C-47 Dakota.
Douglas C-47 Dakota
Berdasarkan selembar surat Perintah KSAU, tanggal 1 Agustus 1950, bernomor 0439/Pr/KSAU/50, maka dibentuklah skadron ke II sebagai skadron angkut. Alhasil sejak saat itu 1 Agustus dianggap sebagai tanggal kelahiran Skadron 2. Selain itu, keputusan ini sekaligus juga menunjuk Achting Letnan Udara I Sudarjono untuk mengkomandani skadron yang baru saja dibentuik ini. Selain tiu pembentukan skadron ke II adalah merupakan bagian dari kelanjutan proses penyerahan seluruh kekuatan udara ML dan personilnya dengan jumlah 10.000 orang kepada AURIS pada tanggal 27 Juni 1950.
Sebelum penyehatan kekuatan, AURIS hanyalah suatu organisasi perang dengan sejumlah personil bersemangat juang tinggi, beberapa pangkalan serta jumlah pesawat peninggalan bala tentara Jepang berkondisi layak terbang terbatas. Namun secara tiba-tiba dilimpahi dengan berpuluh-puluh pesawat yang terhitung modern pada jamannya seperti pesawat pengebom North American B-25 Mitchell, pesawat angkut C-47 Dakota, pemburu North America P-51 Mustang pesawat intai Auster MK-II dan pesawat ambifi Consolidated PBY-54 Catalina. Hebatnya lagi semua pesawat tersebut dalam kondisi laik terbang alias siap operasional.
Khusus untuk pesawat angkut, awalnya secara simbolis memang hanya dua unit Dakota saja yang diserahkan oleh ML. Namun lambat laun jumlah ini membengkak. Sebuah catatan melukiskan bahwa waktu itu Belanda menyerahkan 44 unit C-47A, sedang lainnya menyatakan tak lebih dari 29 pesawat saja. Namun komandan Skadron 2 pertama memberikan gambaran lebih detail lagi. Menurut Sudarjono, RI mendapatkan hibah 16 unit C-47 bekas AU Belanda ditambah 22 unit bekas pangkal AL Belanda. Tak hanya itu, sebuah DC-3 bernomor registrasi T-482 khusus diserahkan sebagai ganti rugi atas jatuhnya VT-CLA yang ditembak jatuh Belanda pada tanggal 29 Juli 1947. Di kemudian hari pesawat Dakota pengganti tadi lebih banyak digunakan untuk perjalanan dinas VIP, lantaran punya konfigurasi tempat duduk mirip dengan pesawat – pesawat komersial.
Penunggang Kuda Terbang di Masa Awal
Kenyataan yang dihadapi pada masa–masa awal kelahiran Skandron II adalah jumlah pesawat sangat banyak namun tidak diimbangi dengan kuantitas personil yang memadai. Masalah serupa juga dihadapi oleh satuan – satuan lainnya. Sebagai gambaran tulang punggung kekuatan, Skadron Udara II dengan basis di PAU (Pangkalan Angkatan Udara) Andir, Bandung terdiri atas 16 pesawat C-47 Dakota. Padahal jumlah awak Dakota AURI pada waktu itu masih bisa dihitung dengan jari, beberapa penerbang yang masuk dalam daftar awak pertama Skadron II pada waktu itu adalah :
1. LU I Sudarjono sekaligus sebagai Komandan Skadron
2. LU I Sutardjo Sigit
3. LU II Budiarto Iskak
4. LU II Sjamsudin Noor
Selain keempat penerbang asli bangsa Indonesia tadi, beberapa penerbang veteran PD II berkebangsaan Amerika juga ikut berperan pada masa – masa awal Skadron II. Sebagai tambahan LU II Budiarto Iskak dan LU II Sjamsudin Noor adalah termasuk lulusan pertama SPL I yang dilantik pada tanggal 18 November 1950. Namun demikian kedua penerbang tadi telah punya pengalaman mengawaki Dakota dalam misi penerbangan Garuda Indonesian Airways di Burma.
Lantaran jumlah penerbang masih sedikit, maka proses pemindahan Dakota dari PU Cililitan ke PU Andir-pun dilakukan dengan carayang cukup unik. “Seiring pesawat diterbangkan dari Jakarta tanpa Co-pilot (solo)”, jelas langkah macam ini bukanlah hal lazim pada masa itu untuk menerbangkan pesawat angkut berukuran sedang seorang diri . “Tapi apa boleh buat, kita waktu itu memang kekurangan penerbang”.
Walau kondisi jumlah personil terbatas, bukan berarti tugas-tugas operasional tak bisa dilakukan. Masih berbekal dari pengalaman Sudarjono, misi pertama yang harus di emban oleh Skandron angkut pertama TNI AU ini adalah mencetak penerbang – penerbang Dakota Baru. Hasil dari misi ini adalah lahirnya penerbang – penerbang baru ber-ranting Dakota, yaitu :
1. LU II Sri Bima
2. LU II Sudjalmo
3. LU II Abdul Mukti
4. LU II Pardjaman
Selain misi mencetak penerbang – penerbang baru, tugas kedua adalah menggelar misi penerbangan ke pangkalan – pangkalan udara di seluruh wilayah RI. Misi ini diberi nama Survey- flight, fungsi dari survery – flight adalah melihat sarana serta fasilitas di pangkalan – pangkalan udara dalam mendukung tugas operasi pesawat AURI di masa mendatang. Selain itu, dalam misi juga digelar uji pendaratan guna mengetahui kelayakan pangkalan jika digunakan dalam operasi udara, kelanjutan dari misi ini adalah untuk menggelar penerbangan pengangkutan personil dan materiil ke pangkalan – pangkalan udara di wilayah negara RI.
DAUM : Sarana Perekat Bangsa
Kalau saja AURI tak berinovasi untuk membentuk Dinas Angkutan Udara Militer (DAUM), mungkin deretan pulau – pulau yang tersebar di Nusantara tetap terbelenggu dan terisolasi. Jalur perhubungan melalui laut memang bisa jadi opsi solusi lainnya, namun patut diingat, jalan keluar seperti ini butuh waktu tempuh lama serta jumlah armada kapal laut yang memadai. Akan tetapi bila gagal memenuhi syarat tadi, tugas mempersatukan nusantara akan sulit terlaksana.
Bermodalkan armada Dakota dengan basis di PAU Andir, Bandung maka AURI pun dipercaya untuk menyelenggarakan penerbangan rutin ke daerah – daerah di seluruh nusantara. Mirip dengan maskapai penrbangan sekarang, semua rute penerbangan di buat terjaudal, jalur- jalur penerbangan di susun berjenjang dan panjang. Diawali dari Jakarta, kemudian dilanjutkan ke pangkalan – pangkalan udara di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga ke wilayah Indonesia paling ujung, yaitu Morotai. Tak hanya tugas berbau militer saja, armada DAUM acap kali juga mengangkut pegawai negeri, guru, hingga uang dari bank – bank yang berada di daerah terpencil.
Setahun setelah di bentuk ( 1952), eksistensi DAUM terasa makin nyata. Buktinya terjaudal penerbangan ke Sumatera bisa di tingkatkan hingga seminggu tiga kali, Aceh dijadikan basis untuk bermalam (Ron), sekaligus sebagai upaya penghormatan bagi pejuang Rakyat Aceh semasa Seulawah dulu.
Agak berbeda situasinya, saat membuka jalur penerbangan ke Wilayah Indonesia Timur, tantangan bagi DAUM terasa lebih berat. Pasalnya belum banyak pangkalan – pangkalan udara dibuka di wilayah ini, padahal kalau mau ditelusuri lebih dalam lagi, rakyat di Indonesia Timur sangat membutuhkan transportasi udara.
Beruntunglah ada seorang perwira AURI, LU I Sajad yang waktu itu menjabat sebagai Komandan PAU Morotai dan bisa dijadikan andalan untuk membuka pangklan –pangkalan udara di sekitar wilayah tersebut. Untuk membuka suatu pangkalan udara yang belum pernah disinggahi pesawat, pria dengan sapan akrab King Sajad ini tinggal menyerahkan saja pekerjaan tadi dengan rakyat sekitar. Bukan hanya asal perintah saja, King sajad rupanya punya resep sendiri untuk menumbuhkan rasa simpati di kalangan rakyat sekitar, resep mujarab ini adalah dengan menggelar acara pemutaran film layar tancap di daerah – daerah terpencil.
Kisah lucu pernah pula dialami oleh awak DAUM saat mendarat untuk pertama kali di pulau Selaru, Maluku Selatan pada tahun 1952. Terpencilnya pulau ini membuat masyarakat di sekitarnya menjadi miskin informasi, bahkan informasi mengenai Kemerdekaan Indonesia sekalipun. Alhasil ketika sebuah Dakota DAUM mendarat, langsung saja masyarakat sekitar mengira itu adalah pesawat Belanda. Serta merta tanpa rasa berdosa seluruh masyarakat menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, diiringi dengan pengibaran bendera merah – putih – biru.
Heran, kaget, dan haru bercampur aduk menjadi satu, menyelimuti perasaan para awak Dakota. Tapi setelah dilakukan pendekatan sontak sorak – sorai kemerdekaan berkumandang di seluruh pulau. Tak lantas berhenti begitu saja, detik itu juga para awak Dakota mendapatkan tugas tambahan baru, yaitu mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya ke seluruh masyarakat Pulau Selaru.
Tidak terlepas dengan berbagai pengalaman tadi, KSAU Rd. Suryadi Suryadarma pernah menyatakan bahwa dalam DAUM sebenarnya juga mengemban tugas strategis, tugas itu adalah menyebarkan pengertian kepada rakyat di seluruh pelosok nusantara bahwa ada pusat pemerintah RI yang telah berdaulat. Di sisni DAUM berperan besar sebagai perekat intergasi bangsa pasca Proklamasi Kemerdekaan.
Di tengah kebutuhan akan penerbangan, pada tanggal 16 November 1950 terjadi kecelakaan pada sebuah Dakota beregistrasi T- 446 dengan awak LU II Sjamsudin Noor di daerah Tasikamlaya. LU II Sjamsudin Noor gugur dalam penerbangan menjeput personil AURI dari pangkalan Tasikmalaya menuju pangklan Andir, AURI kehilangan salah seorang putra terbaiknya yang diharapkan dapat turut serta dalam membangun organisasi yang masih seumur jagung.
Berpisah dengan DAUM
Walau sebagian dari pesawat C-47 Dakota berada di PAU Andir, Bandung namun di PAU Cililitan, Jakarta sendiri masih terdapat pula pesawat sejenis di bawah naungan Skadron I. Oleh karenanya untuk mengoptimalkan sistem angkutan udara milik AURI pada waktu itu, maka pada tanggal 14 Januari 1951, LU I Sudarjono bersama dengan Sutradjo Sigit mendapatkan tuigas untuk menerbangkan armada Dakota yang berada di Jakarta. Akibat dari pergeseran ini maka jabatan Komandan Skandron II di PU Andir kemudian diserah terimakan kepada LU II Budiarto Iskak.
Pada saat bersamaan nama Skadron II dengan kedudukan di PAU Andir dirubah menjadi Skandron DAUM (Dinas Angkutan Udara Militer) pada tanggal 1 Januari 1951. Sementara nama Skadron II sendiri akhirnya di boyong ke PU Cililitan untuk membawahi armada Dakota yang mulanya merupakan bagian dari Skadron I. Jika di bandingkan dengan keadaan saat ini, tentu akan sulit diterima, mengingat pada masa kini bila akan membentuk suatu skandron baru dibutuhkan waktu cukup lama, baik dari kesiapan sarana maupun penyiapan awaknya. Tetapi keputusan untuk membentuk skadron – skadron baru di masa – masa awal AURI merupakan bukti perjuangan tanpa pamrih yang ditunjukkan oleh personil AURI saat itu, terutama para pemimipinnya.
Perbedaan antara dua skadron C-47 Dakota tersebut di atas adalah Skadron II PAU Cililitan lebih di titik beratkan pada tugas – tugas operasional yang notabene mesti siap digerakkan kapan saja dan dimana saja. Skadron ini juga bertugas dalam melaksanakan pendidikan bagi calon awak dan penerbang Dakota, penerjunan pasukan dan barang, serta tugas operasional lainnya.
Sementara Skadron DAUM di PAU Andir lebih berkiblat pada penerbangan reguler, menjelajah ke seluruh pangkalan udara AURI dalam rangka menjaga kontinuitas keperluan suplai logistik, skadron DAUM ini merupakan tulang punggung dalam mewujudkan jembatan udara dalam menyatukan kepulauan di seluruh nusantara.
Keberadaan Skadron II juga makin nyata dengan turunnya keputusan KSAU pada Bulan April 1951 dalam rangka perombakan komposisi satuan tempur di lingkungan AURI. Tertulis di buku “ Sewindu Angkatan Udara Republik Indonesia 1946 – 1954 ” di sebutkan bahwa pada tanggal 23 April 1951 secara resmi terjadi perubahan struktur skadron di lingkungan AURI. Perubahan ini tertuang dalam keputusan KSAU No. 28A/11/KS/51 dan diuraikan menurut skadron yang ada meliputi:
- Skadron I adalah satuan pesawat pengembom
- Skadron II adalah satuan pesawat pengangkut
- Skadron III adalah satuan pesawat pemburu
- Skadron IV adalah satuan pesawat pengintai darat
- Skadron V adalah satuan pesawat pengintai maritim
Dakota, Sayap nan kokoh
Kehadiran Pesawat C-47 Dakota pada era 50-an hingga pertengahan 70-an identik dengan Skadron 2, di mancanegara pesawat dengan segudang julukan ini juga melengenda. Berikut sejarah singkat Dakota, sang sayap nan kokoh yang kerap muncul dalam buku – buku sejarah lokal dan luar negeri.
Awal karier militer pesawat angkut Dakota dimulai ketika Korp Udara AD AS (US Army Air- Corps – USAAC) membeli dua unit varian angkut penumpang DC-2 pada tahun 1936. Tak lalu patuh pada aturan sipil, USAAC kemudian merubah kode pesawat ini agar sesuai dengan regulasi militer yaitu C-32, merasa kehadiran pesawat ini bermanfaat maka serta merta USAAC menambah lagi perbendaharaaan C-32 menjadi 18 unit. Dua unit pesawat ini di pakai sebagai sarana penerbangan VIP dengan kode C-34, sementara sisanya menyandang kode C-33.
Pada Bulan Juni 1941 bersamaan dengan berkecamuknya PD II di daratan Eropa, AB AS menggelar perombakan di tubuh kekuatan udara AB AS menjadi US Army Air Force (USAAF). Akibat perombakan ini maka komposisi kekuatan – kekuatan tempur juga mesti di ubah, termasuk di dalamnya juga satuan angkut.
Untuk merancang pesawat baru, USAAF kemudian mengincar pesawat DC-3 yang telah berjaya di dunia penerbangan sipil. Alasannya secara teknis airframe yang diadopsi pada pesawat ini di anggap paling cocok bagi kepentingan angkut militer, pada tahun itu juga secara resmi USAAF kemudian membeli sejumlah besar DC-3 dengan menyandang kode pesawat angkut militer C-47. Seperti disebutkan dalam buku “Mc Donnell Douglas,A Tale of Two Giants”, karya Bill Yenne tahun 1985, langkah USAAF ini menjadi awal kelahiran C-47 yang mencapai total produksi sampai 10.629 unit. Tak hanya berkipra di AS, di luar negeri Paman Sam pesawat ini juga berjaya, sebut saja Rusia pernah mendapatkan lisensi untuk membuat 2.000 unit C-47 namun dengan kode Lisunov li-2. Sedangkan Jepang sebelum PD II pecah, sempat pula menerima 487 pesawat sejenis. Tak ketinggalan Inggris juga meneima 2.000 unit C-47, yang sebenarnya AU Inggris-lah kemudian menjuluki pesawat ini dengan nama Dakota.
Bukti ketangguhan selama beroperasi membuat Jendral Dwight Eisenhower menjulukinya sebagai salah satu dari empat senjata utama, penentu kemenangan sekutu dalam PD II. Pernyataan yang dilaontarkan oleh Eisenhower memang tak salah, simak saja pengalaman pesawat dengan segudang julukan seperti Gooney Bird, Sky Trooper dan Dakota ini pada salah satu episode PD II yaitu medan pertempuran Guadalcanal, Pasifik. Diceritakan kalau C-47 menjadi tulang punggung suplai perbekalan sejauh 650 mil bagi pasukan AS. Bukan hanya dengan tangan hampa, saat pulang pesawat – pesawat ini juga masih di wajibkan untuk mengangkut personil militer AS yang terluka ke garis belakang. Pernah juga saat Balatentara Jepang menginvasi Burma, pesawat ini di wajibkan mengangkut 70 orang pengungsi dan berhasil mendarat di wilayah aman.
Ketangguhan Dakota melengenda saat sekutu menggelar operasi pendaratan terbesar sepanjang jaman di Pantai Normandia, bernama operasi Overlord. Dalam operasi tersebut Dakota di wajibkan untuk bisa menggeser 20.000 pasukan plus berton-ton peralatan perang ke garis depan dalam waktu singkat. Tak hanya itu, untuk meningkatkan kapasistas angkutnya maka pesawat ini juga menarik pesawat angkut glider tipe Waco CG-4, jadi bisalah dibayangkan bagaimana ketangguhan mesin dan airframe dari Dakota di lapangan.
Bukan hanya berhenti begitu saja, pasca PD II, Dakota tetap berkiprah dalam medan tempur. Bahkan saat era pesawat – pesawat tempur bermesin jet tengah berkibar. Ketika konflik di Vietnam mulai merebak pada awal era 60-an, Dakota tetap digunakan oleh AU AS untuk tugas –tugas pengintaian, foto udara (photo reconnaissance), perang elektronik (electronic warfare) hingga gunship dengan kode AC-47. Mengusung julukan “Puff the magic Dragon” maka pesawat ini sekarang membawa sejumlah kanon multi laras (gatling) berkecepatan tinggi kaliber 20 mm maupun kanon kaliber 40 mm. Hasil dari perombakan ini sungguh dahsyat, diyakini hanya dalam tempo tiga detik tembakan saja maka dengan mudahnya sasaran seluas lapangan bola langsung bisa dihabisi. Tanpa butuh waktu panjang, “Puff the Magic Dragon” berubah menjadi mimpi buruk bagi pasukan Vietkong, sekaligus mengukuhkan AC-47 sebagai salah satu senjata udara paling mematikan dalam medan pertempuran di Asia Tenggara.
Dari catatan yang berhasil dikumpulkan menunjukkan sampai dengan tahun 1961, ada sekitar 1.000 pesawat Dakota masih masuk dalam dinas aktif AU AS. Varian AC-47 sendiri pensiun 30 tahun setelah konflik Vietnam rampung pada tahun 1973, sementara di luar negara itu diyakini jumlah pesawat yang masih operasional lebih banyak lagi.
Melihat kesaktian Dakota begitu spektakuler maka sungguhlah beruntung kalau Skadron 2 mengoperasikan pesawat ini, dengan pesawat – pesawat tangguh tadi kiprah Skadron Kuda Terbang dimulai. Pesawat tanggung di sertai penerbang – penerbang bersemangat tinggi adalah suatu hal penting dalam suatu pengembangan angkatan udara, sayap Kuda Terbang nan kokoh tersebut telah menjadi pondasi kuat bagi pola operasi angkutan udara yang terus berkembang, seiring kemajuan zaman yang selalu menyertai perjalanan TNI Angkatan Udara.
Terlahir sebagai skadron angkut pertama, memiliki pesawat cukup banyak dan modern pada masanya. Namun dengan terbatasnya penerbang untuk mengawaki, membuat skadron ini harus berjuang ekstra keras agar selalu siap menjalankan tugas, kapanpun dan dimanapun. Mulai dari mengangkut bahan makanan, obat-obatan, tumbuh-tumbuhan, hingga pasukan dengan segala perangkat kebutuhan pendukung dalam pertempuran. Pokoknya selama masih bisa masuk dalam tubuh pesawat dan tidak membahayakan keselamatan penerbang, pasti akan diterbangkan sampai ketujuan. Sampai sekarang, walaupun telah lahir skadron-skadron angkut lainnya, skadron 2 tetap menjadi monumen hidup dari bukti semangat juang, dedikasi, loyalitas, dan profesionalisme dari seluruh personilnya.
Kelahiran Si Kuda Terbang.
Bila dilihat kebelakang, skadron angkut dalam lingkungan TNI AU sebenarnya dirintis dari PAU (Pangkalan Angkatan Udara) Andir (sekarang Lanud Husein Sastranegara), Bandung. Menyusul penyerahan kedaulatan RI dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, maka AURIS (Angkatan Udara Republik Indonesia Serikat) mendapatkan warisan pesawat terbang dalam jumlah besar dari ML (Militaire Luchtvaart), termasuk di dalamnya adalah pesawat angkut legendaries Douglas C-47 Dakota.
Douglas C-47 Dakota
Berdasarkan selembar surat Perintah KSAU, tanggal 1 Agustus 1950, bernomor 0439/Pr/KSAU/50, maka dibentuklah skadron ke II sebagai skadron angkut. Alhasil sejak saat itu 1 Agustus dianggap sebagai tanggal kelahiran Skadron 2. Selain itu, keputusan ini sekaligus juga menunjuk Achting Letnan Udara I Sudarjono untuk mengkomandani skadron yang baru saja dibentuik ini. Selain tiu pembentukan skadron ke II adalah merupakan bagian dari kelanjutan proses penyerahan seluruh kekuatan udara ML dan personilnya dengan jumlah 10.000 orang kepada AURIS pada tanggal 27 Juni 1950.
Sebelum penyehatan kekuatan, AURIS hanyalah suatu organisasi perang dengan sejumlah personil bersemangat juang tinggi, beberapa pangkalan serta jumlah pesawat peninggalan bala tentara Jepang berkondisi layak terbang terbatas. Namun secara tiba-tiba dilimpahi dengan berpuluh-puluh pesawat yang terhitung modern pada jamannya seperti pesawat pengebom North American B-25 Mitchell, pesawat angkut C-47 Dakota, pemburu North America P-51 Mustang pesawat intai Auster MK-II dan pesawat ambifi Consolidated PBY-54 Catalina. Hebatnya lagi semua pesawat tersebut dalam kondisi laik terbang alias siap operasional.
Khusus untuk pesawat angkut, awalnya secara simbolis memang hanya dua unit Dakota saja yang diserahkan oleh ML. Namun lambat laun jumlah ini membengkak. Sebuah catatan melukiskan bahwa waktu itu Belanda menyerahkan 44 unit C-47A, sedang lainnya menyatakan tak lebih dari 29 pesawat saja. Namun komandan Skadron 2 pertama memberikan gambaran lebih detail lagi. Menurut Sudarjono, RI mendapatkan hibah 16 unit C-47 bekas AU Belanda ditambah 22 unit bekas pangkal AL Belanda. Tak hanya itu, sebuah DC-3 bernomor registrasi T-482 khusus diserahkan sebagai ganti rugi atas jatuhnya VT-CLA yang ditembak jatuh Belanda pada tanggal 29 Juli 1947. Di kemudian hari pesawat Dakota pengganti tadi lebih banyak digunakan untuk perjalanan dinas VIP, lantaran punya konfigurasi tempat duduk mirip dengan pesawat – pesawat komersial.
Penunggang Kuda Terbang di Masa Awal
Kenyataan yang dihadapi pada masa–masa awal kelahiran Skandron II adalah jumlah pesawat sangat banyak namun tidak diimbangi dengan kuantitas personil yang memadai. Masalah serupa juga dihadapi oleh satuan – satuan lainnya. Sebagai gambaran tulang punggung kekuatan, Skadron Udara II dengan basis di PAU (Pangkalan Angkatan Udara) Andir, Bandung terdiri atas 16 pesawat C-47 Dakota. Padahal jumlah awak Dakota AURI pada waktu itu masih bisa dihitung dengan jari, beberapa penerbang yang masuk dalam daftar awak pertama Skadron II pada waktu itu adalah :
1. LU I Sudarjono sekaligus sebagai Komandan Skadron
2. LU I Sutardjo Sigit
3. LU II Budiarto Iskak
4. LU II Sjamsudin Noor
Selain keempat penerbang asli bangsa Indonesia tadi, beberapa penerbang veteran PD II berkebangsaan Amerika juga ikut berperan pada masa – masa awal Skadron II. Sebagai tambahan LU II Budiarto Iskak dan LU II Sjamsudin Noor adalah termasuk lulusan pertama SPL I yang dilantik pada tanggal 18 November 1950. Namun demikian kedua penerbang tadi telah punya pengalaman mengawaki Dakota dalam misi penerbangan Garuda Indonesian Airways di Burma.
Lantaran jumlah penerbang masih sedikit, maka proses pemindahan Dakota dari PU Cililitan ke PU Andir-pun dilakukan dengan carayang cukup unik. “Seiring pesawat diterbangkan dari Jakarta tanpa Co-pilot (solo)”, jelas langkah macam ini bukanlah hal lazim pada masa itu untuk menerbangkan pesawat angkut berukuran sedang seorang diri . “Tapi apa boleh buat, kita waktu itu memang kekurangan penerbang”.
Walau kondisi jumlah personil terbatas, bukan berarti tugas-tugas operasional tak bisa dilakukan. Masih berbekal dari pengalaman Sudarjono, misi pertama yang harus di emban oleh Skandron angkut pertama TNI AU ini adalah mencetak penerbang – penerbang Dakota Baru. Hasil dari misi ini adalah lahirnya penerbang – penerbang baru ber-ranting Dakota, yaitu :
1. LU II Sri Bima
2. LU II Sudjalmo
3. LU II Abdul Mukti
4. LU II Pardjaman
Selain misi mencetak penerbang – penerbang baru, tugas kedua adalah menggelar misi penerbangan ke pangkalan – pangkalan udara di seluruh wilayah RI. Misi ini diberi nama Survey- flight, fungsi dari survery – flight adalah melihat sarana serta fasilitas di pangkalan – pangkalan udara dalam mendukung tugas operasi pesawat AURI di masa mendatang. Selain itu, dalam misi juga digelar uji pendaratan guna mengetahui kelayakan pangkalan jika digunakan dalam operasi udara, kelanjutan dari misi ini adalah untuk menggelar penerbangan pengangkutan personil dan materiil ke pangkalan – pangkalan udara di wilayah negara RI.
DAUM : Sarana Perekat Bangsa
Kalau saja AURI tak berinovasi untuk membentuk Dinas Angkutan Udara Militer (DAUM), mungkin deretan pulau – pulau yang tersebar di Nusantara tetap terbelenggu dan terisolasi. Jalur perhubungan melalui laut memang bisa jadi opsi solusi lainnya, namun patut diingat, jalan keluar seperti ini butuh waktu tempuh lama serta jumlah armada kapal laut yang memadai. Akan tetapi bila gagal memenuhi syarat tadi, tugas mempersatukan nusantara akan sulit terlaksana.
Bermodalkan armada Dakota dengan basis di PAU Andir, Bandung maka AURI pun dipercaya untuk menyelenggarakan penerbangan rutin ke daerah – daerah di seluruh nusantara. Mirip dengan maskapai penrbangan sekarang, semua rute penerbangan di buat terjaudal, jalur- jalur penerbangan di susun berjenjang dan panjang. Diawali dari Jakarta, kemudian dilanjutkan ke pangkalan – pangkalan udara di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga ke wilayah Indonesia paling ujung, yaitu Morotai. Tak hanya tugas berbau militer saja, armada DAUM acap kali juga mengangkut pegawai negeri, guru, hingga uang dari bank – bank yang berada di daerah terpencil.
Setahun setelah di bentuk ( 1952), eksistensi DAUM terasa makin nyata. Buktinya terjaudal penerbangan ke Sumatera bisa di tingkatkan hingga seminggu tiga kali, Aceh dijadikan basis untuk bermalam (Ron), sekaligus sebagai upaya penghormatan bagi pejuang Rakyat Aceh semasa Seulawah dulu.
Agak berbeda situasinya, saat membuka jalur penerbangan ke Wilayah Indonesia Timur, tantangan bagi DAUM terasa lebih berat. Pasalnya belum banyak pangkalan – pangkalan udara dibuka di wilayah ini, padahal kalau mau ditelusuri lebih dalam lagi, rakyat di Indonesia Timur sangat membutuhkan transportasi udara.
Beruntunglah ada seorang perwira AURI, LU I Sajad yang waktu itu menjabat sebagai Komandan PAU Morotai dan bisa dijadikan andalan untuk membuka pangklan –pangkalan udara di sekitar wilayah tersebut. Untuk membuka suatu pangkalan udara yang belum pernah disinggahi pesawat, pria dengan sapan akrab King Sajad ini tinggal menyerahkan saja pekerjaan tadi dengan rakyat sekitar. Bukan hanya asal perintah saja, King sajad rupanya punya resep sendiri untuk menumbuhkan rasa simpati di kalangan rakyat sekitar, resep mujarab ini adalah dengan menggelar acara pemutaran film layar tancap di daerah – daerah terpencil.
Kisah lucu pernah pula dialami oleh awak DAUM saat mendarat untuk pertama kali di pulau Selaru, Maluku Selatan pada tahun 1952. Terpencilnya pulau ini membuat masyarakat di sekitarnya menjadi miskin informasi, bahkan informasi mengenai Kemerdekaan Indonesia sekalipun. Alhasil ketika sebuah Dakota DAUM mendarat, langsung saja masyarakat sekitar mengira itu adalah pesawat Belanda. Serta merta tanpa rasa berdosa seluruh masyarakat menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, diiringi dengan pengibaran bendera merah – putih – biru.
Heran, kaget, dan haru bercampur aduk menjadi satu, menyelimuti perasaan para awak Dakota. Tapi setelah dilakukan pendekatan sontak sorak – sorai kemerdekaan berkumandang di seluruh pulau. Tak lantas berhenti begitu saja, detik itu juga para awak Dakota mendapatkan tugas tambahan baru, yaitu mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya ke seluruh masyarakat Pulau Selaru.
Tidak terlepas dengan berbagai pengalaman tadi, KSAU Rd. Suryadi Suryadarma pernah menyatakan bahwa dalam DAUM sebenarnya juga mengemban tugas strategis, tugas itu adalah menyebarkan pengertian kepada rakyat di seluruh pelosok nusantara bahwa ada pusat pemerintah RI yang telah berdaulat. Di sisni DAUM berperan besar sebagai perekat intergasi bangsa pasca Proklamasi Kemerdekaan.
Di tengah kebutuhan akan penerbangan, pada tanggal 16 November 1950 terjadi kecelakaan pada sebuah Dakota beregistrasi T- 446 dengan awak LU II Sjamsudin Noor di daerah Tasikamlaya. LU II Sjamsudin Noor gugur dalam penerbangan menjeput personil AURI dari pangkalan Tasikmalaya menuju pangklan Andir, AURI kehilangan salah seorang putra terbaiknya yang diharapkan dapat turut serta dalam membangun organisasi yang masih seumur jagung.
Berpisah dengan DAUM
Walau sebagian dari pesawat C-47 Dakota berada di PAU Andir, Bandung namun di PAU Cililitan, Jakarta sendiri masih terdapat pula pesawat sejenis di bawah naungan Skadron I. Oleh karenanya untuk mengoptimalkan sistem angkutan udara milik AURI pada waktu itu, maka pada tanggal 14 Januari 1951, LU I Sudarjono bersama dengan Sutradjo Sigit mendapatkan tuigas untuk menerbangkan armada Dakota yang berada di Jakarta. Akibat dari pergeseran ini maka jabatan Komandan Skandron II di PU Andir kemudian diserah terimakan kepada LU II Budiarto Iskak.
Pada saat bersamaan nama Skadron II dengan kedudukan di PAU Andir dirubah menjadi Skandron DAUM (Dinas Angkutan Udara Militer) pada tanggal 1 Januari 1951. Sementara nama Skadron II sendiri akhirnya di boyong ke PU Cililitan untuk membawahi armada Dakota yang mulanya merupakan bagian dari Skadron I. Jika di bandingkan dengan keadaan saat ini, tentu akan sulit diterima, mengingat pada masa kini bila akan membentuk suatu skandron baru dibutuhkan waktu cukup lama, baik dari kesiapan sarana maupun penyiapan awaknya. Tetapi keputusan untuk membentuk skadron – skadron baru di masa – masa awal AURI merupakan bukti perjuangan tanpa pamrih yang ditunjukkan oleh personil AURI saat itu, terutama para pemimipinnya.
Perbedaan antara dua skadron C-47 Dakota tersebut di atas adalah Skadron II PAU Cililitan lebih di titik beratkan pada tugas – tugas operasional yang notabene mesti siap digerakkan kapan saja dan dimana saja. Skadron ini juga bertugas dalam melaksanakan pendidikan bagi calon awak dan penerbang Dakota, penerjunan pasukan dan barang, serta tugas operasional lainnya.
Sementara Skadron DAUM di PAU Andir lebih berkiblat pada penerbangan reguler, menjelajah ke seluruh pangkalan udara AURI dalam rangka menjaga kontinuitas keperluan suplai logistik, skadron DAUM ini merupakan tulang punggung dalam mewujudkan jembatan udara dalam menyatukan kepulauan di seluruh nusantara.
Keberadaan Skadron II juga makin nyata dengan turunnya keputusan KSAU pada Bulan April 1951 dalam rangka perombakan komposisi satuan tempur di lingkungan AURI. Tertulis di buku “ Sewindu Angkatan Udara Republik Indonesia 1946 – 1954 ” di sebutkan bahwa pada tanggal 23 April 1951 secara resmi terjadi perubahan struktur skadron di lingkungan AURI. Perubahan ini tertuang dalam keputusan KSAU No. 28A/11/KS/51 dan diuraikan menurut skadron yang ada meliputi:
- Skadron I adalah satuan pesawat pengembom
- Skadron II adalah satuan pesawat pengangkut
- Skadron III adalah satuan pesawat pemburu
- Skadron IV adalah satuan pesawat pengintai darat
- Skadron V adalah satuan pesawat pengintai maritim
Dakota, Sayap nan kokoh
Kehadiran Pesawat C-47 Dakota pada era 50-an hingga pertengahan 70-an identik dengan Skadron 2, di mancanegara pesawat dengan segudang julukan ini juga melengenda. Berikut sejarah singkat Dakota, sang sayap nan kokoh yang kerap muncul dalam buku – buku sejarah lokal dan luar negeri.
Awal karier militer pesawat angkut Dakota dimulai ketika Korp Udara AD AS (US Army Air- Corps – USAAC) membeli dua unit varian angkut penumpang DC-2 pada tahun 1936. Tak lalu patuh pada aturan sipil, USAAC kemudian merubah kode pesawat ini agar sesuai dengan regulasi militer yaitu C-32, merasa kehadiran pesawat ini bermanfaat maka serta merta USAAC menambah lagi perbendaharaaan C-32 menjadi 18 unit. Dua unit pesawat ini di pakai sebagai sarana penerbangan VIP dengan kode C-34, sementara sisanya menyandang kode C-33.
Pada Bulan Juni 1941 bersamaan dengan berkecamuknya PD II di daratan Eropa, AB AS menggelar perombakan di tubuh kekuatan udara AB AS menjadi US Army Air Force (USAAF). Akibat perombakan ini maka komposisi kekuatan – kekuatan tempur juga mesti di ubah, termasuk di dalamnya juga satuan angkut.
Untuk merancang pesawat baru, USAAF kemudian mengincar pesawat DC-3 yang telah berjaya di dunia penerbangan sipil. Alasannya secara teknis airframe yang diadopsi pada pesawat ini di anggap paling cocok bagi kepentingan angkut militer, pada tahun itu juga secara resmi USAAF kemudian membeli sejumlah besar DC-3 dengan menyandang kode pesawat angkut militer C-47. Seperti disebutkan dalam buku “Mc Donnell Douglas,A Tale of Two Giants”, karya Bill Yenne tahun 1985, langkah USAAF ini menjadi awal kelahiran C-47 yang mencapai total produksi sampai 10.629 unit. Tak hanya berkipra di AS, di luar negeri Paman Sam pesawat ini juga berjaya, sebut saja Rusia pernah mendapatkan lisensi untuk membuat 2.000 unit C-47 namun dengan kode Lisunov li-2. Sedangkan Jepang sebelum PD II pecah, sempat pula menerima 487 pesawat sejenis. Tak ketinggalan Inggris juga meneima 2.000 unit C-47, yang sebenarnya AU Inggris-lah kemudian menjuluki pesawat ini dengan nama Dakota.
Bukti ketangguhan selama beroperasi membuat Jendral Dwight Eisenhower menjulukinya sebagai salah satu dari empat senjata utama, penentu kemenangan sekutu dalam PD II. Pernyataan yang dilaontarkan oleh Eisenhower memang tak salah, simak saja pengalaman pesawat dengan segudang julukan seperti Gooney Bird, Sky Trooper dan Dakota ini pada salah satu episode PD II yaitu medan pertempuran Guadalcanal, Pasifik. Diceritakan kalau C-47 menjadi tulang punggung suplai perbekalan sejauh 650 mil bagi pasukan AS. Bukan hanya dengan tangan hampa, saat pulang pesawat – pesawat ini juga masih di wajibkan untuk mengangkut personil militer AS yang terluka ke garis belakang. Pernah juga saat Balatentara Jepang menginvasi Burma, pesawat ini di wajibkan mengangkut 70 orang pengungsi dan berhasil mendarat di wilayah aman.
Ketangguhan Dakota melengenda saat sekutu menggelar operasi pendaratan terbesar sepanjang jaman di Pantai Normandia, bernama operasi Overlord. Dalam operasi tersebut Dakota di wajibkan untuk bisa menggeser 20.000 pasukan plus berton-ton peralatan perang ke garis depan dalam waktu singkat. Tak hanya itu, untuk meningkatkan kapasistas angkutnya maka pesawat ini juga menarik pesawat angkut glider tipe Waco CG-4, jadi bisalah dibayangkan bagaimana ketangguhan mesin dan airframe dari Dakota di lapangan.
Bukan hanya berhenti begitu saja, pasca PD II, Dakota tetap berkiprah dalam medan tempur. Bahkan saat era pesawat – pesawat tempur bermesin jet tengah berkibar. Ketika konflik di Vietnam mulai merebak pada awal era 60-an, Dakota tetap digunakan oleh AU AS untuk tugas –tugas pengintaian, foto udara (photo reconnaissance), perang elektronik (electronic warfare) hingga gunship dengan kode AC-47. Mengusung julukan “Puff the magic Dragon” maka pesawat ini sekarang membawa sejumlah kanon multi laras (gatling) berkecepatan tinggi kaliber 20 mm maupun kanon kaliber 40 mm. Hasil dari perombakan ini sungguh dahsyat, diyakini hanya dalam tempo tiga detik tembakan saja maka dengan mudahnya sasaran seluas lapangan bola langsung bisa dihabisi. Tanpa butuh waktu panjang, “Puff the Magic Dragon” berubah menjadi mimpi buruk bagi pasukan Vietkong, sekaligus mengukuhkan AC-47 sebagai salah satu senjata udara paling mematikan dalam medan pertempuran di Asia Tenggara.
Dari catatan yang berhasil dikumpulkan menunjukkan sampai dengan tahun 1961, ada sekitar 1.000 pesawat Dakota masih masuk dalam dinas aktif AU AS. Varian AC-47 sendiri pensiun 30 tahun setelah konflik Vietnam rampung pada tahun 1973, sementara di luar negara itu diyakini jumlah pesawat yang masih operasional lebih banyak lagi.
Melihat kesaktian Dakota begitu spektakuler maka sungguhlah beruntung kalau Skadron 2 mengoperasikan pesawat ini, dengan pesawat – pesawat tangguh tadi kiprah Skadron Kuda Terbang dimulai. Pesawat tanggung di sertai penerbang – penerbang bersemangat tinggi adalah suatu hal penting dalam suatu pengembangan angkatan udara, sayap Kuda Terbang nan kokoh tersebut telah menjadi pondasi kuat bagi pola operasi angkutan udara yang terus berkembang, seiring kemajuan zaman yang selalu menyertai perjalanan TNI Angkatan Udara.